Rabu, 10 Agustus 2011

Poligami, antara Ya dan Tidak

Tadi pagi, saya membaca surat kabar ternama di negeri ini. Salah satu berita yang membuat terbelalak mata saya adalah bercerainya Si Da’i kondang yang tengah mengalami prahara rumah tangga selama kurang lebih setahun belakangan ini. Saya pribadi, menyanyangkan akan hal ini karena mengingat beliau sebagai ‘islamic public figure’ yang dari ceramah-ceramahnya telah menginspirasi banyak orang, serta bisnis islaminya yang pernah berjaya hingga omsetnya milyaran rupiah serta buku-buku kecilnya yang bertebaran di berbagai toko buku islami.

Teman, “Apakah Anda setuju dengan Poligami?...” Ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini. Kaum perempuan biasanya menjawab “Tidak”, sedangkan laki-laki menjawab “Ya”, boleh-boleh saja. Pada umumnya, mereka menjawab menurut kecenderungan perasaan serta kepentingan masing-masing.

Jika berpoligami merupakan ketidak-bolehan, tentulah Islam tidak membolehkan poligami. Islam tidak mensyariatkan hal-hal yang melanggar norma-norma kemanusiaan dan akhlak mulia. Padahal setia (al-wala') merupakan sikap dan akhlak mulia dalam Islam.

Dalam sejarah hidupnya, junjungan kita Rasulullah SAW pun berpoligami. Apakah dengan begitu kita menafikan Baginda Nabi padahal dari dirinyalah segala etika dan akhlak dibangun dan menjadi panutan kita? Begitu juga yang dilakukan para sahabat dan tabi’in dalam hal poligami.

Benar bahwa Ali Bin Abi Thalib ketika berniat menikah lagi, Rasulullah melarangnya. Namun ini sebenarnya kurang tepat dijadikan argumentasi. Siapapun yang membaca sejarah serta mencermati sebab musabab kejadiannya, pasti mengetahui bahwa hal ini tidak ada hubungannya dengan ketidak-bolehan berpoligami. Rasulullah melarang Ali karena saat itu Ali hendak menikahi anak Abu Jahal. Sabda Rasulullah; “Janganlah engkau satukan putri Rasulullah dengan anak perempuan musuh Allah dalam satu rumah”.

Ada dua pertimbangan penting yang membuat larangan itu muncul, yaitu: Pertama, pernikahan ini sebenarnya merupakan tipu muslihat untuk merusak rumah tangga Ali dan Fathimah dengan anak perempuannya Abu Jahal. Kedua, diriwayatkan pula bahwa dibalik rencana pernikahan ini terdapat rekayasa yang telah diatur sedemikian rupa oleh sekumpulan wanita untuk menjebak Ali kw. Jadi, pada dasarnya hal diatas tidak ada kaitannya dengan ketidak-bolehan berpoligami, melainkan perhitungan serta pertimbangan antara kebaikan dan keburukannya.

Jawaban “Tidak” pun bisa jadi benar. Yaitu manakala istri kedua menempati sebuah rumah atau mengambil harta suaminya, sementara istri pertama telah memiliki andil dalam dalam pengadaan tempat tinggal tersebut dan ikut serta mengisinya dengan perabot-perabot rumah tangga dengan harta istri pertama.

Saya kagum dengan Abuya Ashaari Muhammad At-Tamimi dari Malaysia pendiri Darul Arqam (kini Global Ikhwan), beliau memiliki istri empat dengan anak sebanyak 34 orang serta cucu sekitar 200-an anak. Kehidupan rumah tangga beliau rukun-rukun saja satu sama lainnya dan saling dukung-mendukung dalam dakwah dan “ta'aawanu 'alal birri wat taqwa”. Beliau, Ashaari Muhammad juga dijuluki Bapak Nasyid Malaysia karena anak-anak didiknya yang berkecimpung dalam dunia nasyid diantaranya: Nada Murni, The Zikr ( Raihan ), Hawari, Lampions, Mawaddah, Qatrunada, Hijjaz karena ratusan bait syair beliau bertebaran di grup nasyid tersebut. Anda juga bisa melihat Kota Mini Islami-nya yang dibangun oleh Beliau dan pengikutnya di Bandar Country Home di Malaysia. Bahkan, di berbagai negara pun sekarang ada kampung-kampung islami yang didirikan oleh para pengikutnya.

Termasuk sikap ‘tidak’ boleh berpoligami adalah jika suami pernah berjanji tidak akan menikah lagi namun kemudian ternyata ingkar. Atau seorang perempuan muslimah mengajukan syarat kepada calon suaminya ketika mengkhitbahnya agar tidak dimadu, namun boleh menikah lagi ketika si istrinya sudah meninggal dunia. Hal ini dibolehkan dalam Islam. Dan tentunya, si calon suami harus setia (dalam menepati janji) kepada istrinya tentang hal ini.

Sang calon istri dalam Islam berhak mengajukan syarat, karena syarat ini akan menjadi sah-nya akad nikah. Keseluruhan diri sang istri akan menjadi halal kalau syarat ini dipenuhi oleh calon suami. Termasuk syarat seorang istri selama masih hidup dan masih bisa menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri, maka sang calon suami tidak boleh menikah dengan wanita lain. Kalau sang calon suami keberatan dengan syarat-syarat tersebut, boleh dia membatalkan khitbahnya dan mencari calon istri lain yang bersedia untuk hal itu.

Apa syarat ini tidak mengada-ada dan berlebihan? Tidak. Para Ulama telah membahas hal ini panjang lebar. Dan syarat yang ini sah bila diajukan kepada calon suami. Kecuali setelah menikah nanti sang istri tidak bisa menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri, misalnya; sakit bertahun-tahun, belum dikaruniai anak karena ada masalah dalam diri si istri, meninggal dan alasan-alasan yang dibenarkan dalam Islam. Hal seperti itu dibolehkan dalam Islam bila sang suami menikah lagi.

Di dalam Kitab Al-Mughni karangan Ibnu Qudamah; Juz VII hal 93 ditulis: “Yang wajib dipenuhi adalah syarat yang bermanfaat bagi sang istri. Misalnya; sang suami tidak akan mengeluarkan dari rumahnya atau dari kampungnya, tidak bepergian dengan membawanya atau tidak akan menikah atasnya. Syarat seperti ini wajib dipenuhi oleh suami untuk istri. Jika suami tidak menepati, maka istri berhak minta dihapuskan nikahnya”. (HR. Umar Bin Khatthab ra & Sa’ad Bin Abi Waqqash ra)

Jadi, syarat seperti ini tidak dikatakan bertentangan dengan syari’at Islam dan tidak bathil. Persyaratan yang termasuk tidak sesuai dengan syari’at Islam dan bathil misalnya; sang calon istri mensyaratkan kepada calon suami agar membunuh si Fulan, atau mau menikah dengannya kalau mau keluar dari agama Islam (murtad) dan lain sebagainya.

Berhati-hatilah kalau mau berpoligami, kawan…

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008