Selasa, 02 Agustus 2011

Order Tulisan 2 : Masalah Pensematan Nama

NB: Order Tulisan ini adalah permintaan dari teman-teman di FB ini tentang berbagai hal yang ditanyakan kepada saya, baik melalui chat maupun inbox
-------------------------------------------------------------

Seseorang bertanya;

“ Assalaamu’alaikum…

Ustadz, saya mau nanya; Bolehkah menyematkan nama suami di belakang nama istrinya? Misalnya; Ani Yudhoyono, Tien Soeharto?...”

Saya jawab;


“ Wa alaikum salam wa rohmah…

Hmmm, pertanyaan bagus. Insya allah, akan saya jawab melalui tulisan, ya…^_^ Soalnya, di FB ini banyak yang menyematkan seperti ini, ada yang betul dan ada yang keliru…”
-----------------------------------------------------------

Saya dulu, pernah mengikuti pengajiannya Gus Mad (Pengasuh PP Nurul Ulum Malang) di Masjid Jami’ Malang tiap malam rabu atau malam kamis (saya lupa pas-nya) ketika beliau masih sugeng (hidup). Yang pasti, ketika itu saya masih menyandang status mahasiswa S1 semester VI atau VII, ketika mahasiswa saya sering hunting mengikuti pengajian atau majlis ta’lim kemana-mana bersama teman saya yang bernama Nurcholis.

Suatu ketika di pengajian, beliau menerangkan bahwa di Indonesia banyak yang salah kaprah dalam hal menyematkan nama. Beliau ketika itu memberikan contoh; Ani Yudhoyono. Nama Yudhoyono yang disematkan ke nama Ani itu keliru, kata beliau. Kenapa keliru? Karena dalam Islam, yang boleh disematkan di belakang nama orang itu harus nama ayahnya, bukan suaminya apalagi nama pacarnya. Lalu beliau menjelaskan, Apa Ani ini anaknya Yudhoyono? Bukan, kan. Nah, inilah kelirunya.

Sepanjang yang saya ketahui, di tradisi Jawa juga ada penyematan nama seperti itu. Misal, Pak Selamet punya anak pertama yang namanya Sutris dan anak kedua namanya Naning. Maka, di Jawa yang ‘berhak’ mendapatkan kehormatan dalam hal penyematan nama adalah Si Sutris; Bapak’e atau Ibu’e Sutris. Adapun anak kedua, ‘tidak’ bisa disematkan seperti ini; Bapak’e atau Ibu’e Naning. Mungkin, ini keutamaan atau kekhususan anak pertama di dalam tradisi Jawa.

Namun, ketika saya meninjau di dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Arab, kekhususan semacam ini tidak saya temukan. Saya ambil contoh; Pak Gunawan punya anak pertama yang namanya Agus dan anak kedua namanya Herman. Maka, dalam bahasa Indonesia tidak ada larangan untuk menyematkan Agus dan Herman; Ayahnya atau Ibunya Agus dan Ayahnya atau Ibunya Herman, meski Herman anak kedua. Di dalam bahasa Arab juga sama seperti bahasa Indonesia. Boleh menyematkan kedua-duanya, misal; Abu atau Ummu Agus dan Abu atau Ummu Herman.

Dalam hal ini, saya tidak mengetahui banyak tentang tradisi daerahlain seperti tradisi Madura, Kalimantan, Sumatra atau yang lainnya. Nah, disinilah pentingnya sharing masalah pensematan nama ini. Karena yang saya ketahui, teman-teman di FB ini dari berbagai daerah di belahan bumi ini, ada juga yang dari Iwate Jepang. Mungkin, mbak Hesti Setiarini dan Mbak Imelda mengetahui tradisi pensematan nama di Jepang untuk di share disini. Atau, mungkin Pak Bhudi Tjahja & Mbak Vircentia Ling menambahi referensi di tradisi Tiongkok tentang masalah penyematan sebuah nama ini.

Nabi Muhammad ‘diingatkan’ oleh Allah karena menyematkan nama beliau di belakang nama anak angkatnya. Beliau mempunyai anak angkat yang bernama Zaid. Suatu ketika, beliau sekali pernah menyematkan namanya di anak angkatnya yaitu Zaid Bin Muhammad. Lalu, Allah melalui Malaikat Jibril merevisi agar supaya tetap Zaid Bin Haritsah.

Beberapa teman FB yang saya ketahui memakai nama anak atau orangtuanya di belakangnya yang betul adalah;

- Halimi Zuhdy = Halimi Bin Zuhdy (Halimi anaknya Pak Zuhdy)
- Faricha Hasan = Faricha Bintu Hasan (Faricha anaknya Pak Hasan)
- Ummu Zahron (Ibunya Zahron)
- Ummu Naura (Ibunya Naura)
- Mamane Kirana (Ibunya Kirana)

Untuk nama yang terakhir, “Mamane Kirana” ini masih diperbolehkan karena bukan Ibu’e atau Mama’e Kirana. Syukur-syukur kalo Si Kirana ini anak pertama, maka sudah barang tentu boleh menurut tradisi Jawa.

Bagaimana kalau mengambil nama sahabiyyah (sahabat nabi perempuan) atau nama-nama isteri nabi yang namanya ada ‘ummu’-nya, apa dibolehkan? Misalnya; Ummu Habibah, Ummu Kultsum ect? Sepengetahuan saya, tidak apa-apa dan tidak masalah memakai nama tersebut karena orangtua yang memberikan nama putrinya dengan nama tersebut agar bisa seperti dan mampu meneladani Si Pemilik nama itu.

Ada juga yang menjadi pertanyaan, misalnya Pak Ridwan punya anak angkat yang namanya Ridho. Apakah boleh Pak Ridwan memakai nama ini: Abu Ridho? Kalau mensematkan nama; Ridho Ridwan (baca; Ridho Bin Ridwan) di dalam Islam tidak diperkenankan karena Ridho hanya anak angkatnya Pak Ridwan. Kalau Abu Ridho boleh gak?

Hmmm, bagus juga pertanyaannya? Makin mendalam dan menukik saja…

Begini. Penggunaan Abu dan Ibnu juga bisa dipakai untuk kun-yah (julukan) seseorang karena sifatnya dan kepribadiaannya. Jadi, boleh-boleh saja mensematkan Abu Ridho, meski bukan anak kandungnya. Karena Abu atau Ibnu ini tidak diartikan sempit seperti Bin atau Bintun yang hanya terkhususkan untuk anak kandung saja. Saya ambil contoh berikut ini;

- Abu Al-Qoosim = Orang yang suka membagi-bagi hartanya (Orang Dermawan)
Rasulullah mendapat gelar ini karena beliau terkenal dermawan dan suka membagi-bagikan hartanya meski beliau sendiri kadang jarang makan dan tidur nyenyak.

- Abu Hurairah = Bapaknya Kucing.
Ada sahabat nabi yang berkun-yah seperti ini. Ini asal-usulnya; Abu Hurairah mendapatkan nama kun-yah ini karena saking sayangnya beliau terhadap hewan yang bernama kucing.

- Ibnu Hajar = Anaknya Batu
Ada Ulama’ yang mendapat gelar atau kun-yah semacam ini karena ketika menuntut ilmu dulu, susahnya bukan main dalam menerima ilmu dan pelajaran. Suatu ketika, beliau mendapati air yang menetes di batu hingga batu tersebut berlubang. Lalu beliau berfikir, batu yang sebegitu keras saja bisa berlubang oleh tetesan air?!! Ah, otakku kan bukan terbuat dari batu, pasti aku bisa menerima ilmu-ilmu dari guruku, kata Ibnu Hajar. Akhirnya, beliau menjadi Ulama’ besar dan tersohor dan dijuluki: Ibnu Hajar Al-Atsqolani.

- Abu Naim = Bapaknya (Tukang) Tidur
Orang yang suka tidur dan malas-malasan, pas mendapat julukan semacam ini. Dasar si Abu Naim (Si Tukang Tidur), kayak kucing saja.

Barangkali teman-teman di FB ini punya pendapat yang berbeda tentang “Masalah Pensematan Nama ini”? Monggo…

Syukriya dan mohon share-nya, ya…^_^


-----------------------
NB: Maaf bila ada teman-teman yang namanya saya comot dan saya jadikan contoh ‘tidak’ berkenan. Ini hanya semata-mata untuk kajian keilmuan saja, kok…^_^

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008