Jumat, 27 Mei 2011

Cerbung: Kisahku Bersama Ersis ( 2 )

NB: Cerbung (Cerita Bersambung) ini adalah kisahku bersama guru menulisku dan sahabatku di Facebook yaitu Ersis Warmansyah Abbas.

Setelah beberapa menit mencari, akhirnya tepat berada di depan kamar ber-nomer-kan 112. Kupandangi dari luar melalui jendela yang tersamarkan oleh korden tembus pandang, disitu ada 3 orang; dua orang ibu-ibu dan satu orang memakai celana pendek se dengkul.

“Ah, masak benar itu Pak Ersis ya?”, antara ragu-ragu dan berani kucoba mengetuk pintu.

“Tok, tok, tok… Assalamu’alaikum”, kucapkan salam.

“ Kraakk, wa alaikum salam…”, seorang laki-laki paruh baya membukakan pintu.

Beliau mempersilahkan aku masuk kamarnya. Kemudian kupandangi sekitar kamar; ada satu kasur berseprei-kan putih yang hampir memenuhi setengah ruangan, 2 kursi dari kayu jati, satu meja kecil, dan beberapa tas berserakan di samping kasur.

“Kamu Erryk, ya..”, laki-laki paruh baya tersebut mengawali pembicaraan dengan senyum sumringah. Dan mempersilahkanku tuk duduk di kursi disamping pintu masuk. Dan kuyakin 100 persen kalo dialah si Ersis itu. Hmmmm, gumamku dalam hati: “Hehe, kok agak sedikit berbeda dengan yang di foto, ya?..”

“Ya, pak.”, kuiyakan dengan agak sedikit sungkan.

“ Ow, masih muda kamu ternyata… Kamu umurnya berapa, rik?”, sahut Pak Ersis.

“Saya sekarang 29, Pak. Emangnya kenapa Pak?”, kembali kubertanya agak relax.

“Haha, kukira kamu sudah 35an, rik. Foto di FB memang ‘keliatan menipu, ya”, ujar Pak Ersis.

“Kamu pastinya juga kaget kan, bertemu langsung dengan saya. Kok tidak seganteng yang di foto gitu. Hahaha…”, Pak Ersis mencairkan suasana.

“Hehe, bisa aja Pak Ersis ini…”, jawabku.

Disampingku ada Bu Ira yang juga ikut tertawa dengan obrolan kami tadi. Sepertinya, Bu Ira baru selesai dinas langsung ke kamar ini karena beliau masih memakai seragam PNS. Tapi, aku tak sempat ngobrol banyak dengan Bu Ira karena beliau segera mengundurkan diri tuk pulang.

“Aduh Pak Ersis, saya mohon maaf tidak bisa berlama-lama. Ini, Ustadz Erryk sudah datang…”, Bu Ira berdiri sambil memohon izin.

“Oke, kita ketemu lagi besok…”, sahut Pak Ersis.

“Mari Pak Ersis, Ibu…, Ustadz Erryk… Assalamu’alaikum…”, Bu Ira mengucapkan salam sambil keluar dari kamar.

“Wa alaikum salam…”, kami semua membalas ucapan salam tersebut.

Namun, setelah beberapa menit Bu Ira keluar, hujanpun turun membasahi bumi Arema ini. Seketika itu juga, kuingat Bu Ira yang baru keluar. “Aduuh, kasihan Bu Ira. Beliau mungkin kehujanan di jalan. Tapi, ah tak apalah, beliau mungkin sudah membawa jas hujan di jok sepedanya..”, keluhku dalam hati.

“Trus, gimana Erryk? Saya ini orangnya ya seperti ini, merdeka. Saya ingin tahu lebih banyak tentang UIN Malang nich…”, kata Pak Ersis.

“Walah Pak, nyantai saja.. UIN Malang itu meski ber-institusikan Islam, bukan berarti tidak menerima pemikiran-pemikiran baru, lho. Alhamdulillah, di UIN Malang beda dengan PTAIN yang lain. Kalo PTAIN yang lain ada yang cenderung ke liberal atau yang lainnya, di UIN Malang tidak sampai kemasukan paham liberalisme maupun radikalisme yang berlebihan..”, sahutku dengan serius.

“Jadi, Pak Ersis jangan terlalu formil banget dan ….”maaf, pak” jangan terlalu metal juga. Hehe…”, tambahku.

“Hmmm gitu ya, oke deh. Untung rik, istriku sejak di Bandung bawa celana yang tidak melulu jeans karena tahu kalo saya akan ngisi “agak resmi” di Pembekalan Mahasiswa Humbud UIN Malang. Sebetulnya, saya ya seperti ini. Orangnya bebas dan merdeka. Bahkan, bisa disebut Preman Kampus gitu…”, terang Pak Ersis.

Aneh. Itulah kata pertama yang kurasakan ketika bertemu dengan Si Ersis ini. Kenapa aneh? Karena seakan-akan, saya dengan beliau sudah kenal lama. Padahal, saya hanya berinteraksi dengan beliau melalui jejaring sosial saja. Mungkin Bu Ira, Pak Heri, Ust. Abrar, Pak Husnun dan teman-teman FB-nya yang lain juga merasakan hal yang sama seperti saya.

“Erryk, tahukah kamu kalau saya seumur-umur ini tidak pernah bawa pulpen?”, tiba-tiba Pak Ersis bertanya.

“Ya, karena sudah ada laptop, Pak. Sebagai pengganti dari bolpoin..”, jawabku.

“Tidak. Bukan itu alasannya..”, jawab pak Ersis.

“Saya sejak SD, sudah tidak pernah bawa barang yang namanya pulpen, rik. Kenapa? Karena ayah saya dulu pernah mengambil pulpen saya. Kata ayah, “Sini pulpen-mu. Kau tidak perlu pulpen ini. Justru ayah yang memerlukan ini!”. Lalu saya berontak; “Lho yah, bukannya saya sebagai seorang pelajar yang memerlukan pulpen ini?”. Ayah menambahi; “Kau punya otak untuk menyimpan semua pelajaranmu, sis. Manfaatkan otakmu!. Justru ayah yang tidak pernah bersekolah ini yang seharusnya membawa pulpen.”, cerita Pak Ersis.

Lalu beliau menambahi; “Nah, sejak saat itu saya tidak pernah membawa barang yang namanya pulpen. Bahkan, sampai saat ini (beliau S3) pun saya tidak pernah mempunyai buku tulis untuk mencatat kuliah yang diberikan oleh professor-profesor. Lalu disimpan dimana, rik?” beliau menjelaskan lagi; “Semua informasi saya simpan di otak saya!. Kenapa manusia tidak memanfaatkan otak dan ingantannya padahal Allah memberikan karunia yang luar biasa kepada manusia berupa sel neuron berjumlah 140 Trilyun, lho. Satu sel neuron saja ibaratnya computer Pentium empat, rik”.

Wow, aku tidak menyangka mendapatkan ilmu yang belum pernah aku dengar dan aku dapatkan sebelumnya. Eureka, eureka… kata-kata itulah yang menyentakku ketika mendapatkan sesuatu yang baru. Aku masih ingat, ketika Pak Ersis menjelaskan eureka, eureka ini ketika ada salah satu teman FB yang berkomentar; “Pak Ewa, apa sih artinya eurika, eurika itu?” Lalu beliau membalas komen tersebut; “Kata-kata itu saya ambil dari kata-katanya Archimedes “Eureka, eureka…” ketika dia menemukan cara untuk menghitung volume air di bak mandi. Dan seketika itu juga Si Archimedes keluar mengelilingi kota sambil mengatakan “Eureka, eureka”. Padahal, dia tidak sadar masih dalam keadaan “telanjang”..”. Semua para commenters tertawa terbahak-bahak ketika Pak Ersis menjelaskan tentang hal ini.

Lalu, beliau bertanya lagi kepadaku; “Erryk, sanggupkah kamu menulis sambil melihat bola, melihat film, mendengarkan musik sekaligus tanpa terganggu satu sama lainnya?”

“Tidak bisa, pak. Saya kalau menulis tidak bisa apabila diikuti dengan aktivitas lainnya seperti lihat bola, melihat film dan yang lainnya..”, jawabku.

“Haha, saya bisa melakukan itu tanpa terganggu dan bisa fokus di semuanya, rik. Mau tahu rahasianya?”, pancing Pak Ersis.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008