Menikah, siapa sih yang tidak ingin? Sebagai seorang manusia yang mempunyai kebutuhan psikologis dan biologis, wajar rasanya jika kita menginginkannya. Orang Alim bilang, menikah itu membuat jiwa menjadi tenang, dan pikiran lebih terarah. Apalagi Baginda Rasulullah saw mengatakan bahwa menikah merupakan sunnah beliau, yang mana sunnah ini akan menggenapkan separuh dari agama kita. Bahkan Rasulullah saw menjamin bahwa seseorang yang ingin menikah untuk menjaga kehormatannya, termasuk dalam tiga golongan yang Allah wajib untuk menolongnya. Tidakkah sebagai seorang muslim yang baik, janji Rasul ini sangat menggiurkan?
Pernikahan adalah satu-satunya cara yang dihalalkan dalam Islam bagi seorang perempuan dan laki-laki non mahram untuk menjalin cinta dan kasih.
Tapi menikah itu tidak semudah membalik telapak tangan. Ia adalah proses yang mudah tanpa harus dimudah-mudahkan, sekaligus merupakan suatu proses yang sulit tanpa harus dibuat rumit. Saat seorang laki-laki menyambut pernyataan menikahkan dari seorang wali perempuan dalam ijab qabul pernikahan, saat itulah dimensi baru bagi keduanya dimulai. Seorang perempuan dalam sekejap mempunyai predikat baru sebagai seorang istri, dan seorang laki-laki akan berubah status menjadi seorang suami. Status baru yang mungkin belum terbayangkan sama sekali bagi mereka. Status yang dibelakangnya mengekor beribu konsekuensi yang baru juga.
Ketika kita memutuskan untuk menikah, seharusnya kita telah bersepakat untuk mempertemukan tidak hanya seorang laki-laki dan perempuan, tapi juga dua pemikiran, dua sudut pandang, dua karakteristik, dua kebiasaan, tak lupa juga bahwa kita telah menikahkan dua keluarga besar dan dua kebudayaan. Ibarat sebuah pepatah: “Lain Ladang, Lain Belalang”. Perbedaan itu pasti akan ada. Maka siap menikah berarti kita siap untuk menerima perbedaan. Perbedaan itu adalah suatu sunnatullah, lalu kenapa kita harus takut untuk berbeda?
Sekali lagi, menikah adalah kesiapan untuk menerima perbedaan, kemauan untuk berubah, keinginan untuk mengenal lebih jauh, kesiapan untuk menerima pasangan kita apa adanya dan kesediaan untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi mengedepankan kepentingan dan kebutuhan bersama.
Bukan sekedar keinginan, menikah membutuhkan persiapan yang tidak mudah. Bahkan, ketika pernikahan itu sudah terlaksana pun, proses pembelajaran itu harus tetap kita lakukan. Ada suatu perbedaan besar yang harus kita sadari antara penggunaan kata “ingin” dan “siap”. Suatu keinginan yang tidak diikuti oleh proses mempersiapkan diri, ia hanya akan berakhir sebagai suatu mimpi kosong di siang bolong.
Sementara, parameter kesiapan setiap orang hanya dirinya dan Allah saja yang tahu. Pun ketika kita melihat seorang laki-laki atau perempuan yang kita anggap cukup siap untuk menikah, ketika keinginan itu tidak tumbuh dalam diri mereka, maka pernikahan itu akan sulit untuk terealisasi. Tentunya, tanpa menafikan bahwa semua itu berada dalam wilayah kekuasaan Allah. Yaitu untuk menentukan kapan kita akan menikah, di mana, dengan siapa, dan dalam kondisi seperti apa, hanya Allah yang mampu menjawab itu semua...
Ya, semoga pernikahan bukan hanya menjadi keinginan belaka, tapi merupakan sesuatu yang diupayakan dapat terlaksana dalam koridor syari'at-Nya.
Pernikahan adalah satu-satunya cara yang dihalalkan dalam Islam bagi seorang perempuan dan laki-laki non mahram untuk menjalin cinta dan kasih.
Tapi menikah itu tidak semudah membalik telapak tangan. Ia adalah proses yang mudah tanpa harus dimudah-mudahkan, sekaligus merupakan suatu proses yang sulit tanpa harus dibuat rumit. Saat seorang laki-laki menyambut pernyataan menikahkan dari seorang wali perempuan dalam ijab qabul pernikahan, saat itulah dimensi baru bagi keduanya dimulai. Seorang perempuan dalam sekejap mempunyai predikat baru sebagai seorang istri, dan seorang laki-laki akan berubah status menjadi seorang suami. Status baru yang mungkin belum terbayangkan sama sekali bagi mereka. Status yang dibelakangnya mengekor beribu konsekuensi yang baru juga.
Ketika kita memutuskan untuk menikah, seharusnya kita telah bersepakat untuk mempertemukan tidak hanya seorang laki-laki dan perempuan, tapi juga dua pemikiran, dua sudut pandang, dua karakteristik, dua kebiasaan, tak lupa juga bahwa kita telah menikahkan dua keluarga besar dan dua kebudayaan. Ibarat sebuah pepatah: “Lain Ladang, Lain Belalang”. Perbedaan itu pasti akan ada. Maka siap menikah berarti kita siap untuk menerima perbedaan. Perbedaan itu adalah suatu sunnatullah, lalu kenapa kita harus takut untuk berbeda?
Sekali lagi, menikah adalah kesiapan untuk menerima perbedaan, kemauan untuk berubah, keinginan untuk mengenal lebih jauh, kesiapan untuk menerima pasangan kita apa adanya dan kesediaan untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi mengedepankan kepentingan dan kebutuhan bersama.
Bukan sekedar keinginan, menikah membutuhkan persiapan yang tidak mudah. Bahkan, ketika pernikahan itu sudah terlaksana pun, proses pembelajaran itu harus tetap kita lakukan. Ada suatu perbedaan besar yang harus kita sadari antara penggunaan kata “ingin” dan “siap”. Suatu keinginan yang tidak diikuti oleh proses mempersiapkan diri, ia hanya akan berakhir sebagai suatu mimpi kosong di siang bolong.
Sementara, parameter kesiapan setiap orang hanya dirinya dan Allah saja yang tahu. Pun ketika kita melihat seorang laki-laki atau perempuan yang kita anggap cukup siap untuk menikah, ketika keinginan itu tidak tumbuh dalam diri mereka, maka pernikahan itu akan sulit untuk terealisasi. Tentunya, tanpa menafikan bahwa semua itu berada dalam wilayah kekuasaan Allah. Yaitu untuk menentukan kapan kita akan menikah, di mana, dengan siapa, dan dalam kondisi seperti apa, hanya Allah yang mampu menjawab itu semua...
Ya, semoga pernikahan bukan hanya menjadi keinginan belaka, tapi merupakan sesuatu yang diupayakan dapat terlaksana dalam koridor syari'at-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar