4. Menumbuhkan Sikap Saling Dukung dan Simpati
Selain kebersamaan yang dalam, nilai mahabbah dan ukhuwah mukmin juga terpancar dalam sikapnya yang khas yaitu saling menopang dalam menunaikan kebenaran, menanggung duka derita bahkan bersama pula dalam merasakan nikmat dan karunia Allah. Mengapa? Karena mukmin satu dengan mukmin yang lain ibarat satu tubuh, satu bangunan yang kokoh, satu shaf yang kokoh yang siap menghalau berbagai prahara. Hal tersebut banyak dilukiskan dalam Al-Qur’an maupun Hadist saw diantaranya:
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahma”. (Al-Hujuraat: 10)
“Perumpamaan orang mukmin dalam cinta kasih, dan rahmah kasih sayang serta pertautan jiwa bagaikan satu tubuh. Apabila satu bagian memderita, maka menjalanlah penderitaan itu keseluruh tubuh hingga tidak dapat tidur dan terserang demam” (HR. Bukhari &Muslim)
Termasuk sikap saling mendukung simpati bahkan empati mukmin adalah tatkala menolong sesamanya bila dizhalimi maupun berbuat zhalim.
Dari Anas ra, Rasulullah saw bersabda:
“Tolonglah saudaramu baik ia zhalim maupun dizhalimi. Salah seorang bertanya, “Ya Rasul, kami dapat menolongnya bila ia dizhalimi, maka bagaimana kami menolong orang yang berbuat zhalim?”, Jawab Rasul saw, “Engkau cegah dia dari berbuat zhalim, itu berarti engkau telah menolongnya dari kezhaliman”. (HR. Bukhari)
Hadist tersebut pada awalnya merupakan syiar jahiliyah, “Tolonglah saudaramu yang dizhalimi atau berbuat zhalim”, yaitu senantiasa bahu-membahu baik dalam kebaikan maupun kejahatan, tolong-menolong dalam segala hal karena dorongan fanatisme atau ashabiyah. Maka Islam datang, dengan risalah Rasulullah saw, untuk meng-Islam-kan makna syiar tersebut secara benar dalam persepsi Islam.
Hal ini juga memiliki kandungan makna retorika yang amat dalam bagaimana Rasul mampu mengolah visi yang jelas yang baik dalam pengertiannya, maupun misi dakwah yang hendak disampaikan, yaitu ukhuwah.
Termasuk keberhasilan retorika “cinta” Rasulullah adalah kecekatan sahabat ra menyambut seruan Nabi aw yang dicintainya dalam segala amal.
Dari Abu Amr (Jarir) bin Abdullah ra, berkata, “Ketika kami di majelis Rasulullah saw pada waktu siang hari, tiba-tiba datang suatu kaum yang telanjang yang hanya berkemul dengan kaum shuf yang tebal yang dilubangi dari kepala, dan bersenjatakan pedang. Kebanyakan atau semua mereka itu dari suku Mudhar. Maka berubahlah wajah Rasulullah melihat penderitaan mereka, kemudian beliau masuk ke rumah, tetapi segera pula menyuruh Bilal Adzan dan Iqamah, dan setelah selesai shalat bangkit berkhutbah,
Maka ada seseorang bersedekah dari dinarnya atau dirhamnya, atau pakaiannya, gandum atau kurmanya, hingga Nabi saw menyebut, “Walau separuh dari biji kurma”. Lalu setelah itu datang seorang dari sahabat Anshar membawa pundi-pundi besar hamper tak kuat tangannya mengangkatnya, kemudian diikuti oleh orang-orang yang sehingga saya melihat dua tumpukan makanan dan pakaian, dan saya melihat wajah Rasulullah saw berseri-seri kegirangan bagaikan emas, seraya bersabda,
“Siapa yang membuat sunnah (keteladanan) dalam Islam dengan sunnah yang baik, lalu sunnah itu dijadikan amal setelahnya (dijadikan ikutan), maka Allah SWT mencatatkan untuknya semisal pahala orang-orang yang mengerjakan sunnah itu tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun” (HR. Muslim)
Itulah makna cinta yang diterjemahkan dengan apik dalam realita kehidupan sehingga “hidup” dan “menghidupkan”. Maka tak heranlah manakala tumbuh kedalaman mahabbah untuk senantiasa bersanding dengan sang kekasih.
Bersambung…
Selain kebersamaan yang dalam, nilai mahabbah dan ukhuwah mukmin juga terpancar dalam sikapnya yang khas yaitu saling menopang dalam menunaikan kebenaran, menanggung duka derita bahkan bersama pula dalam merasakan nikmat dan karunia Allah. Mengapa? Karena mukmin satu dengan mukmin yang lain ibarat satu tubuh, satu bangunan yang kokoh, satu shaf yang kokoh yang siap menghalau berbagai prahara. Hal tersebut banyak dilukiskan dalam Al-Qur’an maupun Hadist saw diantaranya:
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahma”. (Al-Hujuraat: 10)
“Perumpamaan orang mukmin dalam cinta kasih, dan rahmah kasih sayang serta pertautan jiwa bagaikan satu tubuh. Apabila satu bagian memderita, maka menjalanlah penderitaan itu keseluruh tubuh hingga tidak dapat tidur dan terserang demam” (HR. Bukhari &Muslim)
Termasuk sikap saling mendukung simpati bahkan empati mukmin adalah tatkala menolong sesamanya bila dizhalimi maupun berbuat zhalim.
Dari Anas ra, Rasulullah saw bersabda:
“Tolonglah saudaramu baik ia zhalim maupun dizhalimi. Salah seorang bertanya, “Ya Rasul, kami dapat menolongnya bila ia dizhalimi, maka bagaimana kami menolong orang yang berbuat zhalim?”, Jawab Rasul saw, “Engkau cegah dia dari berbuat zhalim, itu berarti engkau telah menolongnya dari kezhaliman”. (HR. Bukhari)
Hadist tersebut pada awalnya merupakan syiar jahiliyah, “Tolonglah saudaramu yang dizhalimi atau berbuat zhalim”, yaitu senantiasa bahu-membahu baik dalam kebaikan maupun kejahatan, tolong-menolong dalam segala hal karena dorongan fanatisme atau ashabiyah. Maka Islam datang, dengan risalah Rasulullah saw, untuk meng-Islam-kan makna syiar tersebut secara benar dalam persepsi Islam.
Hal ini juga memiliki kandungan makna retorika yang amat dalam bagaimana Rasul mampu mengolah visi yang jelas yang baik dalam pengertiannya, maupun misi dakwah yang hendak disampaikan, yaitu ukhuwah.
Termasuk keberhasilan retorika “cinta” Rasulullah adalah kecekatan sahabat ra menyambut seruan Nabi aw yang dicintainya dalam segala amal.
Dari Abu Amr (Jarir) bin Abdullah ra, berkata, “Ketika kami di majelis Rasulullah saw pada waktu siang hari, tiba-tiba datang suatu kaum yang telanjang yang hanya berkemul dengan kaum shuf yang tebal yang dilubangi dari kepala, dan bersenjatakan pedang. Kebanyakan atau semua mereka itu dari suku Mudhar. Maka berubahlah wajah Rasulullah melihat penderitaan mereka, kemudian beliau masuk ke rumah, tetapi segera pula menyuruh Bilal Adzan dan Iqamah, dan setelah selesai shalat bangkit berkhutbah,
Maka ada seseorang bersedekah dari dinarnya atau dirhamnya, atau pakaiannya, gandum atau kurmanya, hingga Nabi saw menyebut, “Walau separuh dari biji kurma”. Lalu setelah itu datang seorang dari sahabat Anshar membawa pundi-pundi besar hamper tak kuat tangannya mengangkatnya, kemudian diikuti oleh orang-orang yang sehingga saya melihat dua tumpukan makanan dan pakaian, dan saya melihat wajah Rasulullah saw berseri-seri kegirangan bagaikan emas, seraya bersabda,
“Siapa yang membuat sunnah (keteladanan) dalam Islam dengan sunnah yang baik, lalu sunnah itu dijadikan amal setelahnya (dijadikan ikutan), maka Allah SWT mencatatkan untuknya semisal pahala orang-orang yang mengerjakan sunnah itu tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun” (HR. Muslim)
Itulah makna cinta yang diterjemahkan dengan apik dalam realita kehidupan sehingga “hidup” dan “menghidupkan”. Maka tak heranlah manakala tumbuh kedalaman mahabbah untuk senantiasa bersanding dengan sang kekasih.
Bersambung…
0 komentar:
Posting Komentar