Selasa, 04 Januari 2011

Seri Bedah Buku: Dengan Cinta Aku Berdakwah (10)

F. Himmah Seorang Da’i

Secara bahasa, himmah biasa diartikan sebagai cita-cita. Namun bila kita selami maknanya, ia bisa berarti sesuatu yang senantiasa hangat dan ada dalam pikiran kita. Di siang hari, ia senantiasa dipikirkan. Di malam hari, ia terus di impikan. Ia terus ada dan menyatu dengan jiwa, kemanapun kita pergi, ia selalu dibawa. Dimanapun berdiam, ia tidak lantas tiada. Ia terus mewarnai setiap langkah dan gerak. Dalam istilah shufi-nya, ia selalu muncul dalam setiap sakanat dan harakat kita.

Himmah pun mempunyai keterkaitan dengan kata hamm yang bentuk jamaknya adalah humum yang secara mudah biasa diterjemahkan dengan kesedihan. Artinya, jika seseorang mempunyai himmah terhadap sesuatu, ia akan merasa sedih dan tidak bahagia jika himmah-nya belum tercapai. Sebaliknya, ia merasa bahagia jika himmah-nya berhasil ia wujudkan.

Bila dakwah telah kita definisikan sebagai upaya mempengaruhi dan mengajak mad’u ke jalan Allah SWT, jalan Islam, jalan Nabi Muhammad saw, maka himmah seorang dai dan ketidakmauannya untuk mengecap sedikitpun kebahagiaan manakala belum berhasil membawa seorang manusia pun kepada jalan hidayah, jalan Allah SWT, jalan Nabi saw, shiddiiqin, syuhada’ dan shalihin. Ia baru merasa puas, bahagia dan gembira manakala telah berhasil menjadi penyebab terhadiyahinya seorang manusia untuk memeluk Islam, hidup dengannya dan mati dengan tetap menyandang predikat Muslim.

Namun, sebagai seorang Muslim yang menyadari perannya sebagai ujung tombak khaira ummatin ukhrijat linnaas, yang salah satu karakternya adalah ta’muruuna bil ma’ruuf wa tanhauna ‘anil munkar, himmah sang da’i itu tidak berhenti manakala telah sukses menjadi penyebab terhidayahinya satu orang. Himmah itu akan kembali muncul dalam dirinya dan akan terus muncul sehingga ia kembali kepada Allah SWT.

Himmah semacam ini telah digambarkan oleh beberapa kisah yang ada di dalam Al-Qur’an. Diantaranya adalah kisah burung Hud-Hud Nabi Sulaiman as.

Al-Qur’an mnceritakan bahwa burung Hud-Hud (burung kecil yang tidak mampu untuk terbang jauh) telah melakukan perjalanan yang sangat jauh, dari Palestina (negeri Sulaiman as) sampai ke negeri Saba’ di Yaman (negerinya ratu Balqis).

Ia melalui hamparan padang pasir yang sangat luas, yang tidak mungkin sesuatu pun berani melampauinya kecuali ashhaabul himam al-‘aaliyah (pemilik himmah yang tinggi). Jangankan seekor burung Hud-Hud, manusia saja ngeper dan berpikir beberapa kali untuk mengarunginya. Bukankah yang akan dilewati adalah padang pasir yang sangat panas, sedikit air, sedikit makanan, dan penuh kekerasan-kekerasan alam lainnya? Namun dengan semangat membaja, burung kecil itu melakukan perjalalan sejauh itu dengan satu tujuan, yaitu memberi informasi kepada Nabi Sulaiman as tentang negeri-negeri lain, sehingga bisa jadi, ia akan menjadi penyebab berimannya penduduk negeri itu.

Karena jaraknya sangat jauh dan perlu waktu lama untuk menempuhnya, burung Hud-Hud itu tidak menghadiri majelis Nabi Sulaiman as dalam waktu yang cukup lama, sehingga menjadi tanda tanya bagi Nabi Sulaiman as.

Singkat cerita, akhirnya sang burung kecil itu muncul dan menyampaikan informasi yang didapatnya.

Untuk membuktikan kebenaran informasinya, sang burung harus terbang ke negeri itu sekali lagi. Sungguh, himmah yang luar biasa. Dan tidak sia-sia perjalanannya, karena penduduk negeri Saba’ itu akhirnya tunduk kepada Nabi Sulaiman as dan meninggalkan kemusyrikannya. (lihat kisah lengkapnya di QS. An-Naml: 16-44)

Ada lagi cerita lain yang tidak kalah menariknya. Kisah seorang lelaki, ya...lelaki yang tidak dikenal, yang dalam bahasa Al-Qur’annya, rajulun. Ia datang dari aqshal madinah (wilayah kota yang paling ujung, paling jauh). Ia datang dengan yas’a (berlari) demi memberikan pembelaan kepada Rasul-Rasul Allah SWT. Karena pembelaannya itu, ia dibunuh oleh kaumnya.

Di alam akhiratnya, ia merasakan betapa besar kenimatan yang didapatkannya dari Allah SWT. Lelaki yang dibunuh oleh kaumnya ini masih mengingat kaumnya bukan dalam rangka dendam, tetapi...dalam ungkapan empati yang sangat dalam kepada kaumnya. Namun sayang, kaumnya tidak mengetahuinya.

Subhanallah, sudah meninggal dunia, sudah di alam lain, himmahnya sebagai dai tidak padam juga. Sehingga meluncurlah kata-kata dari lisannya, ya laita qaumi ya’lamuuna. Bima ghafara li rabbi wa ja’alani minal mukminiina. (Kisah lengkapnya silahkan lihat, QS. Yaasin: 13-30).

Dari sirah Rasulullah saw, kita pun dapat melihat bahwa himmah Rasulullah saw begitu tinggi untuk menyelamatkan manusia dari neraka.

Tersebut dalam kutubus-sunnah, bahwa Rasulullah saw mempunyai tetangga seorang Yahudi. Sang Yahudi mempunyai seorang anak kecil. Sebagaimana layaknya anak kecil, anak Yahudi ini biasa bermain dekat rumah Rasulullah saw. Suatu ketika, Rasulullah saw tidak melihat anak Yahudi itu. Akhirnya, beliau mengetahui bahwa anak Yahudi itu sedang sakit keras dan mendekati sakaratul maut. Maka bersegeralah Rasulullah saw bersama beberapa sahabat ke rumah Yahudi itu dengan raut muka yang sangat sedih bercampur rasa tegang dan cemas. Sesampainya di rumah Yahudi itu mendpatkan ijin untuk masuk, beliau langsung duduk di sebelah atas kepala anak Yahudi itu. Dengan wajah yang masih menampakkan kesedihan, ketegangan, dan kecemasan, beliau men-talqin anak Yahudi itu agar mau mengucapkan dua kalimah syahadah. Mendapatkan talqin-an seperti itu, sang anak melihat kepada bapaknya, sebagai isyarat untuk meminta pendapat sang ayah yang Yahudi itu. Mungkin si Yahudi berpikir, apa maunya Muhammad dengan talqin ini? Bukankah sebentar lagi anak saya akan mati? Kalau Muhammad menginginkan anak saya menjadi pengikut dan memperbanyak jumlah simpatisannya, bikankah sebentar lagi juga akan mati?, Barangkali Si Yahudi itu berpikir demikian (wallahu a’lam). Yang jelas, sang ayah berkata kepada anaknya, “Athi’ Abul Qasim” (taati Muhammad saw yang biasa dipanggil Abul Qasim). Sang anak Yahudi itu pun akhirnya mengucapkan dua kalimah syahadah yang tidak lama kemudian meninggal dunia dalam keaadaan Islam. Kegembiraannya dapat dilihat pada raut muka Rasulullah saw dan pada sabdanya, alhamdu lillaahilladzi anqadzahu minan naar (segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari api neraka).

Dari Anas ra, ia berkata, “Dulu ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi saw. Suatu ketika ia sakit, maka Nabi saw mendatanginya untuk menjenguk. Ia duduk di sebelah atas kepala sang anak, lalu berkata, “Masuklah Islam, Nak?”. Anak itu melihat ayahnya yang ada disebelahnya, maka sang ayah berkata, “Taatilah Abul Qasim, nak?”. Maka sang anak itu pun mengucapkan apa-apa yang telah diucapkan (syahadah) oleh Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw keluar dengan sambil mengucapkan, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari api neraka”. (HR. Bukhari)

Secara personel, Rasulullah saw bertetangga dengan Yahudi, perlu ditekankan lagi, secara personel. Bahkan, waktu beliau meninggal dunia, baju besinya masih tergadaikan di tangan seorang Yahudi. Dari satu sisi, Yahudi adalah ini adalah Yahudi ahli zimmah. Namun, secara sistem, Rasulullah saw mengusir Yahudi dari Madinah, sebab mereka adalah ahlul harb (memerangi Islam).

Saudara-saudaraku fillaah...

Masyarakt kita mayoritas adalah masyarakat Muslim, diantara mereka ada yang membutuhkan tastbit (pengokohan), dzikra (peringatan), nasihat dan semacamnya.

Untuk menjalankan tugas-tugas ini, sangat dibutuhkan adamya orang-orang yang memiliki himmah aaliyah (himmah yang sangat tinggi). Oleh karena itu, asahlah himmah kita, barangkali akan ada satu atau dua orang yang terhidayahinya kepada jalan Islam, jalan Allah SWT, sehingga kita pun akan mengenyam besarnya ganjaran Allah SWT di akhirat nanti, insya Allah.

Amin...

Bersambung…

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008