Dalam catatan sirah Nabi Muhammad saw, tertulislah nama Abu Bakar As-Shiddiq ra sebagai lelaki pertama yang menerima dakwah Nabi saw. Bahkan, dia menerima dakwah ini tanpa talakku’ (yakni tanpa sedikitpun ada keraguan, sikap maju mundur, atau kekikukan). Minimal ada tiga hal yang menyebabkan Abu Bakar As-Shiddiq ra mudah menerima, beriman dan bergabung ke dalam barisan dakwah Rasulullah saw, yaitu;
1. Karena faktor Rasulullah saw sendiri.
Beliau saw adalah seseorang yang dikenal tidak pernah berbohong atau berdusta sekalipun, penuh amanah, bahkan beliau digelari Al-Amiin oleh orang-orang Mekkah. Salah satu bukti kuat atas hal ini adalah pengakuan orang-orang Mekkah sendiri, sewaktu Rasulullah saw mengumpulkan mereka di bukit Shafa. Di sana beliau saw bertanya, “Kalau saya katakan kepada kalian bahwa di balik bukit ini ada satu pasukan yang akan menyerbu kalian, apakah kalian akan membenarkan ucapan saya ini?” sepakat mereka menjawab, “Kami akan membenarkannya, sebab tidak pernah sekalipun kami menemukan kasus engkau berdusta kepada kami”.
2. Karena faktor kedekatan Abu Bakar kepada Rasul
Karena kedekatannya dengan Rasul, maka Abu Bakar tahu persis akhlak Rasulullah secara pribadi dan mendetail.
3. Karena Abu Bakar As-Shiddiq adalah orang menguasai sosio kultural
Penguasaan sosio kultural inilah yang oleh para ahli sirah dan sejarawan dikenal dengan nama Nassaabah. Dengan kemampuan ini, Abu Bakar dapat mengetahui pribadi Rasulullah saw, mengetahui garis nasab Rasul saw, kesucian garis keturunan Rasul dan keagungan sirah beliau. Semua ini membawa kesimpulan kepadanya bahwa Rasulullah saw adalah seorang manusia yang agung.
Dalam perjalanan selanjutnya, Abu Bakar As-Shiddiq ra berhasil meng-islam-kan beberapa orang, yang kemudian menjadi sahabat-sahabat besar beberapa diantaranya adalah Ustman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash (mereka adalah sahabat Nabi saw yang dijamin masuk syurga).
Kalau kita mencoba bertanya, mengapa dia bisa begitu cepat meng-islam-kan orang?
Salah satu jawabannya adalah karena dia seorang Nassaabah (ahli dalam sosio kultural) tadi.
Sebagai contoh lagi, sekitar tahun kesebelas dari kenabian Muhammad saw, dan setelah ada beberapa orang Yatsrib (Madinah) memeluk Islam, Rasulullah saw mengutus Mush’ab bin Umair ra sebagai Muqri’ (guru dan da’i) ke Yatsrib untuk mendidik para muslim baru dan mendakwahi masyarakat yang belum memeluk Islam. Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat Nabi yang sangat lembut tutur katanya, hingga diberi julukan hulwal kalam (omongannya lembut/manis). Pernah suatu hari, ia kedatangan Usaid bin Khudair (waktu itu masih kafir) yang bermaksud mengusirnya dari Yatsrib. Namun dengan kelembutan tutur katanya, dengan kebaikan perangainya, ditambah dengan keindahan bacaan al-Qur’annya, Mush’ab bin Umair berhasil menundukkan dan melunakkan hati Usaid bin Khudair, sehingga ia memeluk Islam. Begitupun saat bertemu dengan Sa’ad bin Mu’adz (waktu masih kafir).
Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah ...
Sebagai seorang mukmin sejati, seyogyanya kita berusaha untk mengimplementasikan nilai-nilai dan patokan-patokan dakwah, baik dalam manhaj (pegangan dan konsep), wasa’il (sarana) ataupu asalib (metodologi).
Salah satu kaidah dakwah adalah mendekati manusia berdasarkan tingkat intelektualitas mereka, sebagimana yang dikatakan Ali bin Abi Thalib kw,
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan pengetahuan mereka, adakah kalian suka jika Allah SWT dan Rasul-Nya saw didustakan?” (HR. Bukhari)
Ada lagi pendekatan yang harus kita pergunakan dalam berdakwah, yaitu; pendekatan sosial, sebagaimana pesan Rasulullah saw,
“Telah disebutkan dari A’isyah ra bahwa dia berkata, Rasul saw memerintahkan kepada kami untuk menempatkan orang sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka” (HR. Muslim)
Dalam berdakwah, kita pun harus mempergunakan pendekatan budaya. Salah satu bagian terpenting ari budaya adalah bahasa. Artinya, dalam berdakwah kita harus mempergunakan bahasa masyarakat yang kita dakwahi. Allah SWT berfirman,
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.(Ibrahim: 4)
Pengertian bahasa disini tidaklah sekedar Jawa, Sunda, Batak, Makassar, Indonesia, Arab, Inggris dan semacamnya. Akan tetapi mencakup bahasa masyarakat bawah, menengah, pekerja dan sebagainya.
Tiga model pendekatan yang diisyaratkan oleh atsar dan ayat ini semuanya dimiliki oleh Abu Bakar As-Shiddiq ra, sehingga wajarlah bila ia menjadi semacam lokomotif, yang dengan keislamannya, berbarislah di belakangnya para sahabatnya sebagai muslimin.
Saudaraku fillah, marilah kita tarbiyah diri kita agar memiliki nilai plus sehingga kita menjadi manusia-manusia magnet yang mampu menghimpun segala potensi umat Islam bersatu dalam membela kebenaran. Amin...
Bersambung...
1. Karena faktor Rasulullah saw sendiri.
Beliau saw adalah seseorang yang dikenal tidak pernah berbohong atau berdusta sekalipun, penuh amanah, bahkan beliau digelari Al-Amiin oleh orang-orang Mekkah. Salah satu bukti kuat atas hal ini adalah pengakuan orang-orang Mekkah sendiri, sewaktu Rasulullah saw mengumpulkan mereka di bukit Shafa. Di sana beliau saw bertanya, “Kalau saya katakan kepada kalian bahwa di balik bukit ini ada satu pasukan yang akan menyerbu kalian, apakah kalian akan membenarkan ucapan saya ini?” sepakat mereka menjawab, “Kami akan membenarkannya, sebab tidak pernah sekalipun kami menemukan kasus engkau berdusta kepada kami”.
2. Karena faktor kedekatan Abu Bakar kepada Rasul
Karena kedekatannya dengan Rasul, maka Abu Bakar tahu persis akhlak Rasulullah secara pribadi dan mendetail.
3. Karena Abu Bakar As-Shiddiq adalah orang menguasai sosio kultural
Penguasaan sosio kultural inilah yang oleh para ahli sirah dan sejarawan dikenal dengan nama Nassaabah. Dengan kemampuan ini, Abu Bakar dapat mengetahui pribadi Rasulullah saw, mengetahui garis nasab Rasul saw, kesucian garis keturunan Rasul dan keagungan sirah beliau. Semua ini membawa kesimpulan kepadanya bahwa Rasulullah saw adalah seorang manusia yang agung.
Dalam perjalanan selanjutnya, Abu Bakar As-Shiddiq ra berhasil meng-islam-kan beberapa orang, yang kemudian menjadi sahabat-sahabat besar beberapa diantaranya adalah Ustman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash (mereka adalah sahabat Nabi saw yang dijamin masuk syurga).
Kalau kita mencoba bertanya, mengapa dia bisa begitu cepat meng-islam-kan orang?
Salah satu jawabannya adalah karena dia seorang Nassaabah (ahli dalam sosio kultural) tadi.
Sebagai contoh lagi, sekitar tahun kesebelas dari kenabian Muhammad saw, dan setelah ada beberapa orang Yatsrib (Madinah) memeluk Islam, Rasulullah saw mengutus Mush’ab bin Umair ra sebagai Muqri’ (guru dan da’i) ke Yatsrib untuk mendidik para muslim baru dan mendakwahi masyarakat yang belum memeluk Islam. Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat Nabi yang sangat lembut tutur katanya, hingga diberi julukan hulwal kalam (omongannya lembut/manis). Pernah suatu hari, ia kedatangan Usaid bin Khudair (waktu itu masih kafir) yang bermaksud mengusirnya dari Yatsrib. Namun dengan kelembutan tutur katanya, dengan kebaikan perangainya, ditambah dengan keindahan bacaan al-Qur’annya, Mush’ab bin Umair berhasil menundukkan dan melunakkan hati Usaid bin Khudair, sehingga ia memeluk Islam. Begitupun saat bertemu dengan Sa’ad bin Mu’adz (waktu masih kafir).
Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah ...
Sebagai seorang mukmin sejati, seyogyanya kita berusaha untk mengimplementasikan nilai-nilai dan patokan-patokan dakwah, baik dalam manhaj (pegangan dan konsep), wasa’il (sarana) ataupu asalib (metodologi).
Salah satu kaidah dakwah adalah mendekati manusia berdasarkan tingkat intelektualitas mereka, sebagimana yang dikatakan Ali bin Abi Thalib kw,
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan pengetahuan mereka, adakah kalian suka jika Allah SWT dan Rasul-Nya saw didustakan?” (HR. Bukhari)
Ada lagi pendekatan yang harus kita pergunakan dalam berdakwah, yaitu; pendekatan sosial, sebagaimana pesan Rasulullah saw,
“Telah disebutkan dari A’isyah ra bahwa dia berkata, Rasul saw memerintahkan kepada kami untuk menempatkan orang sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka” (HR. Muslim)
Dalam berdakwah, kita pun harus mempergunakan pendekatan budaya. Salah satu bagian terpenting ari budaya adalah bahasa. Artinya, dalam berdakwah kita harus mempergunakan bahasa masyarakat yang kita dakwahi. Allah SWT berfirman,
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.(Ibrahim: 4)
Pengertian bahasa disini tidaklah sekedar Jawa, Sunda, Batak, Makassar, Indonesia, Arab, Inggris dan semacamnya. Akan tetapi mencakup bahasa masyarakat bawah, menengah, pekerja dan sebagainya.
Tiga model pendekatan yang diisyaratkan oleh atsar dan ayat ini semuanya dimiliki oleh Abu Bakar As-Shiddiq ra, sehingga wajarlah bila ia menjadi semacam lokomotif, yang dengan keislamannya, berbarislah di belakangnya para sahabatnya sebagai muslimin.
Saudaraku fillah, marilah kita tarbiyah diri kita agar memiliki nilai plus sehingga kita menjadi manusia-manusia magnet yang mampu menghimpun segala potensi umat Islam bersatu dalam membela kebenaran. Amin...
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar