Senin, 10 Januari 2011

Menutup Mata dengan Senyuman

Tahun 2001, ketika saya masih menempuh S1 (baca; semester III) di UIN Malang. Sebuah telpon yang tak asing masuk ke layar hp saya agar saya sesegera mungkin untuk pulang ke rumah. Sampai di rumah, lautan manusia menyesaki halaman rumah hingga ke dalam. Bendera hijau terpasang di depan rumah, kakek menghadap Allah hari itu yang juga bertepatan dengan hari ini.

Bapak saya dan semua anak-anak kakek menangis. Namun nampak terlihat jelas seulas senyum manis dan wajah bersih berseri seolah tampak cahaya yang memancar dari wajah sosok yang ditangisi ratusan orang yang datang hari itu.

Kenangan sepuluh tahun yang lalu itu masih sangat jelas terekam di ingatan saya. Betapa saya yang saat itu juga ikut menangis, meski mungkin saya hanya merasa kehilangan seseorang yang takkan lagi mengajak saya jalan-jalan di pagi hari. Masih jelas hingga detik ini senyum indah kakek, bahkan teramat detail hingga seandainya saya mampu melukis, mungkin saya akan melukiskannya dengan sangat baik.

Beliau adalah tokoh masyarakat sekaligus Modin yang sangat disegani, ia sangat ramah dan akrab dengan warga, dan seperti namanya, Abdul Manaf, ia dianggap sebagai bapak yang mulia bagi sebagian warga. Namun, sebutan Mbah Modin lebih dikenal dan lebih akrab ditelinga masyarakat. Benar, karena hampir seluruh warga mengenalnya sebagai orang baik, dermawan. Hingga kini, peninggalannya berupa wakaf tanah untuk musholla masih menjadi ingatan yang jelas akan amal baiknya. Musholla itu bernama Baitul Arqam. Dinamakan Baitul Arqam karena mengambil nama dari Darul Arqam (rumah sahabat nabi yang digunakan syiar dakwah pertama kali oleh Nabi), karena beliaulah orang pertama yang mengajak masyarakat sekitar untuk sholat berjamaah di musholla/masjid -karena waktu itu jarang orang mau shalat berjama’ah-.

Dari ceramah-ceramah agama yang pernah saya dengar, Allah kerap menunjukkan kekuasaan-Nya kepada makhluk yang masih hidup melalui orang-orang yang meninggal. Apakah kebaikan yang diperlihatkan ataukah perbuatan buruk seseorang yang nampak pada saat sakaratul maut dan sesudahnya. Seperti cerita Al-Qomah yang sulit meninggal karena perlakuannya terhadap ibunya, mungkin akan jadi pelajaran bagi orang-orang yang melihatnya. Dan senyuman yang menghiasi orang-orang yang meninggal, juga merupakan kekuasaan Allah yang hendak memperlihatkan akhir dari orang-orang yang senantiasa menjaga dirinya dengan amal shalih.

Sungguh, saat ini saya sering menangis jika menghitung-hitung betapa miskinnya diri ini akan amal shalih. Selaut air mata siap tumpah tatkala mengingat segunung khilaf dan dosa yang kerap tercipta bahkan hingga detik ini.

Jika demikian, adakah kemungkinan diri ini mengakhiri perjalanan ini dengan senyuman? Mungkinkah saya menutup mata dengan indah? Ataukah sebaliknya, mengakhiri perjalanan ini dengan kemaksiatan?

Allahummakhtim lanaa bil iiman…
Allhummakhtim lanaa bil islaam…
Allhummakhtim lanaa bihusnil khaatimah…

Ya Allah, izinkan hamba menutup mata dengan senyuman seperti kakek di akhir hayatnya…
Amin…

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008