By. Anisatul Illiyin
Menikah, siapa sih yang tidak ingin? Sebagai seorang manusia yang mempunyai kebutuhan psikologis dan biologis, wajar rasanya jika kita menginginkannya. Mereka bilang, menikah itu membuat jiwa menjadi tenang, dan pikiran lebih terarah. Apalagi Baginda Rasulullah saw mengatakan bahwa menikah merupakan sunnah beliau, yang mana sunnah ini akan menggenapkan separuh dari agama kita. Bahkan Rasulullah saw menjamin bahwa seseorang yang ingin menikah untuk menjaga kehormatannya, termasuk dalam tiga golongan yang Allah wajib untuk menolongnya. Tidakkah sebagai seorang muslim yang baik, janji Rasul ini sangat didambakan?
Pernikahan adalah satu-satunya cara yang dihalalkan dalam Islam bagi seorang perempuan dan laki-laki non mahram untuk menjalin cinta dan kasih.
Tapi menikah itu tidak semudah membalik telapak tangan. Ia adalah proses yang mudah tanpa harus dimudah-mudahkan, sekaligus merupakan suatu proses yang sulit tanpa harus dibuat rumit. Saat seorang laki-laki menyambut pernyataan menikahkan dari seorang wali perempuan dalam ijab qabul pernikahan, saat itulah dimensi baru bagi keduanya dimulai. Seorang perempuan dalam sekejap mempunyai predikat baru sebagai seorang istri, dan seorang laki-laki akan berubah status menjadi seorang suami. Status baru yang mungkin belum terbayangkan sama sekali bagi mereka. Status yang dibelakangnya mengekor beribu konsekuensi yang baru juga.
Ketika kita memutuskan untuk menikah, seharusnya kita telah bersepakat untuk mempertemukan tidak hanya seorang laki-laki dan perempuan, tapi juga dua pemikiran, dua sudut pandang, dua karakteristik, dua kebiasaan, tak lupa juga bahwa kita telah menikahkan dua keluarga besar dan dua kebudayaan. Ibarat sebuah pepatah: “Lain Ladang, Lain Belalang”. Perbedaan itu pasti akan ada. Maka siap menikah berarti kita siap untuk menerima perbedaan. Perbedaan itu adalah suatu sunnatullah, lalu kenapa kita harus takut untuk berbeda? Sekali lagi, menikah adalah kesiapan untuk menerima perbedaan, kemauan untuk berubah, keinginan untuk mengenal lebih jauh, kesiapan untuk menerima pasangan kita apa adanya dan kesediaan untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi mengedepankan kepentingan dan kebutuhan bersama.
Lalu, bagaimana bila yang dinanti tak kunjung tiba?
Beberapa teman saya di FB ini bertanya; “Ustadzah/Mbak, lalu bagaimana ikhtiar seorang muslimah bila ‘yang dinanti’ tak kunjung tiba? Apa saya harus tetap diam saja & sabar menunggu hingga ada orang yang mengkhitbah?”
Dalam hal ini, ada beberapa ikhtiar yang harus dilakukan:
1. Berdoa, berdoa dan berdoa kepada Allah Sang Pemilik Jiwa kita, supaya Allah segera menganugerahkan pasangan hidup kita. Dalam hal ini, saya pernah mendengarkan ceramahnya Ust. Yusuf Mansyur di Televisi bahwa ada seorang muslimah yang ‘sulit’ jodohnya, kemudian Ust. Yusuf Mansyur meminta muslimah tersebut untuk bersedekah lillaahi ta’aala setiap harinya. Ingat, bukan diniatkan untuk mencari suami, tapi biar Allah-lah yang menata & mengatur hidup kita termasuk dalam masalah jodoh. Akhirnya, muslimah tersebut dipertemukan jodohnya oleh Allah dengan washilah bersedekah.
2. Minta bantuan orangtua, guru, teman atau siapapun yang dipercaya untuk bisa memegang amanah kita. Karena bila tidak, harkat & martabat wanita tersebut yang jadi taruhannya. Maka dari itu, memilah & memilih seseorang yang dapat dipercaya adalah suatu keniscayaan/keharusan sebelum membicarakan masalah ini kepada orang lain.
3. Wanita meminang pria. Wanita meminang pria? Memang itu bukan hal yang lazim, namun ternyata hal itu tidak bertentangan dengan syariat. Hanya saja seorang wanita harus benar-benar siap sebelum mengambil langkah ini. Hal ini telah dicontohkan oleh Khadijah Al-Kubra ketika meminang Muhammad saw.
Keberanian seperti ini tidaklah salah. Ustadz Daud Rasyid, seorang doktor bidang hadits menanggapi hal ini dengan sangat positif, "Tidak ada persoalan wanita meminang pria. Secara hukum sama sekali tidak ada persoalan, bahkan ia sangat diperbolehkan menurut syariat. Wanita boleh mengajukan diri untuk dipinang," jawab beliau tegas.
Memang dalam langkahnya meminang pria, wanita perlu mempunyai kesiapan. Pertama ia harus benar-benar tahu kualitas si lelaki. Yang kedua ia harus cukup mempunyai kekuatan mental menerima penolakan dari pria yang dilamarnya.
Pernah suatu ketika di dalam majlis Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang muslimah yang terang-terangan mengutarakan niatnya untuk meminta agar Rasulullah saw berkenan untuk menjadikannya istri. Tapi, Rasulullah saw pada waktu itu belum berkenan sehingga sambil menundukkan pandangannya dan diam (tanda bahwa rasul menolak lamaran muslimah tersebut). Lantas, muslimah tersebut minta izin untuk meninggalkan majlis, tapi Rasul memanggilnya; Wahai Fulanah, sudikah engkau bila kunikahkan dengan salah seorang dari sahabatku yang sedang berada di majlis ini? Maka wanita tersebut tesenyum sambil mengangguk, menandakan bahwa ia setuju. Kemudian, Rasulullah saw meminta kepada sahabatnya; Siapakah diantara kalian yang mau menikahi fulanah ini? Akhirnya, ada salah satu sahabat yang berdiri dan berkata; “Saya, ya rasulallah..”. Maka dinikahkanlah muslimah tersebut dengan sahabat yang bersedia untuk menjadikan istrinya.
Dari kisah diatas, maka tidak ada masalah bagi wanita muslimah untuk mengajukan diri untuk mengkhitbah laki-laki yang mempunyai kualitas agama yang lebih unggul dibanding dengannya bukan karena factor yang lain; ketampanan, kekayaan ataupun jabatan si laki-laki tersebut.
Semoga Allah memudahkan urusan dan persoalan hidup kita dengan Taufik dan Hidayah-Nya. Amin, amin… Yaa robbal ‘aalamiin…^_^
Menikah, siapa sih yang tidak ingin? Sebagai seorang manusia yang mempunyai kebutuhan psikologis dan biologis, wajar rasanya jika kita menginginkannya. Mereka bilang, menikah itu membuat jiwa menjadi tenang, dan pikiran lebih terarah. Apalagi Baginda Rasulullah saw mengatakan bahwa menikah merupakan sunnah beliau, yang mana sunnah ini akan menggenapkan separuh dari agama kita. Bahkan Rasulullah saw menjamin bahwa seseorang yang ingin menikah untuk menjaga kehormatannya, termasuk dalam tiga golongan yang Allah wajib untuk menolongnya. Tidakkah sebagai seorang muslim yang baik, janji Rasul ini sangat didambakan?
Pernikahan adalah satu-satunya cara yang dihalalkan dalam Islam bagi seorang perempuan dan laki-laki non mahram untuk menjalin cinta dan kasih.
Tapi menikah itu tidak semudah membalik telapak tangan. Ia adalah proses yang mudah tanpa harus dimudah-mudahkan, sekaligus merupakan suatu proses yang sulit tanpa harus dibuat rumit. Saat seorang laki-laki menyambut pernyataan menikahkan dari seorang wali perempuan dalam ijab qabul pernikahan, saat itulah dimensi baru bagi keduanya dimulai. Seorang perempuan dalam sekejap mempunyai predikat baru sebagai seorang istri, dan seorang laki-laki akan berubah status menjadi seorang suami. Status baru yang mungkin belum terbayangkan sama sekali bagi mereka. Status yang dibelakangnya mengekor beribu konsekuensi yang baru juga.
Ketika kita memutuskan untuk menikah, seharusnya kita telah bersepakat untuk mempertemukan tidak hanya seorang laki-laki dan perempuan, tapi juga dua pemikiran, dua sudut pandang, dua karakteristik, dua kebiasaan, tak lupa juga bahwa kita telah menikahkan dua keluarga besar dan dua kebudayaan. Ibarat sebuah pepatah: “Lain Ladang, Lain Belalang”. Perbedaan itu pasti akan ada. Maka siap menikah berarti kita siap untuk menerima perbedaan. Perbedaan itu adalah suatu sunnatullah, lalu kenapa kita harus takut untuk berbeda? Sekali lagi, menikah adalah kesiapan untuk menerima perbedaan, kemauan untuk berubah, keinginan untuk mengenal lebih jauh, kesiapan untuk menerima pasangan kita apa adanya dan kesediaan untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi mengedepankan kepentingan dan kebutuhan bersama.
Lalu, bagaimana bila yang dinanti tak kunjung tiba?
Beberapa teman saya di FB ini bertanya; “Ustadzah/Mbak, lalu bagaimana ikhtiar seorang muslimah bila ‘yang dinanti’ tak kunjung tiba? Apa saya harus tetap diam saja & sabar menunggu hingga ada orang yang mengkhitbah?”
Dalam hal ini, ada beberapa ikhtiar yang harus dilakukan:
1. Berdoa, berdoa dan berdoa kepada Allah Sang Pemilik Jiwa kita, supaya Allah segera menganugerahkan pasangan hidup kita. Dalam hal ini, saya pernah mendengarkan ceramahnya Ust. Yusuf Mansyur di Televisi bahwa ada seorang muslimah yang ‘sulit’ jodohnya, kemudian Ust. Yusuf Mansyur meminta muslimah tersebut untuk bersedekah lillaahi ta’aala setiap harinya. Ingat, bukan diniatkan untuk mencari suami, tapi biar Allah-lah yang menata & mengatur hidup kita termasuk dalam masalah jodoh. Akhirnya, muslimah tersebut dipertemukan jodohnya oleh Allah dengan washilah bersedekah.
2. Minta bantuan orangtua, guru, teman atau siapapun yang dipercaya untuk bisa memegang amanah kita. Karena bila tidak, harkat & martabat wanita tersebut yang jadi taruhannya. Maka dari itu, memilah & memilih seseorang yang dapat dipercaya adalah suatu keniscayaan/keharusan sebelum membicarakan masalah ini kepada orang lain.
3. Wanita meminang pria. Wanita meminang pria? Memang itu bukan hal yang lazim, namun ternyata hal itu tidak bertentangan dengan syariat. Hanya saja seorang wanita harus benar-benar siap sebelum mengambil langkah ini. Hal ini telah dicontohkan oleh Khadijah Al-Kubra ketika meminang Muhammad saw.
Keberanian seperti ini tidaklah salah. Ustadz Daud Rasyid, seorang doktor bidang hadits menanggapi hal ini dengan sangat positif, "Tidak ada persoalan wanita meminang pria. Secara hukum sama sekali tidak ada persoalan, bahkan ia sangat diperbolehkan menurut syariat. Wanita boleh mengajukan diri untuk dipinang," jawab beliau tegas.
Memang dalam langkahnya meminang pria, wanita perlu mempunyai kesiapan. Pertama ia harus benar-benar tahu kualitas si lelaki. Yang kedua ia harus cukup mempunyai kekuatan mental menerima penolakan dari pria yang dilamarnya.
Pernah suatu ketika di dalam majlis Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang muslimah yang terang-terangan mengutarakan niatnya untuk meminta agar Rasulullah saw berkenan untuk menjadikannya istri. Tapi, Rasulullah saw pada waktu itu belum berkenan sehingga sambil menundukkan pandangannya dan diam (tanda bahwa rasul menolak lamaran muslimah tersebut). Lantas, muslimah tersebut minta izin untuk meninggalkan majlis, tapi Rasul memanggilnya; Wahai Fulanah, sudikah engkau bila kunikahkan dengan salah seorang dari sahabatku yang sedang berada di majlis ini? Maka wanita tersebut tesenyum sambil mengangguk, menandakan bahwa ia setuju. Kemudian, Rasulullah saw meminta kepada sahabatnya; Siapakah diantara kalian yang mau menikahi fulanah ini? Akhirnya, ada salah satu sahabat yang berdiri dan berkata; “Saya, ya rasulallah..”. Maka dinikahkanlah muslimah tersebut dengan sahabat yang bersedia untuk menjadikan istrinya.
Dari kisah diatas, maka tidak ada masalah bagi wanita muslimah untuk mengajukan diri untuk mengkhitbah laki-laki yang mempunyai kualitas agama yang lebih unggul dibanding dengannya bukan karena factor yang lain; ketampanan, kekayaan ataupun jabatan si laki-laki tersebut.
Semoga Allah memudahkan urusan dan persoalan hidup kita dengan Taufik dan Hidayah-Nya. Amin, amin… Yaa robbal ‘aalamiin…^_^
0 komentar:
Posting Komentar