Rabu, 29 Desember 2010

Seri Bedah Buku: Dengan Cinta Aku Berdakwah (8)

E. Makna Dakwah
Dalam Mu’jam Maqayiisul Lughah, Ibnu Faris mengatakan bahwa, keseluruhan pengembangan dari kata dasar dakwah bermuara pada satu makna, yaitu;

“Huruf daal, ‘ain dan huruf ‘illat (wawu, alif dan ya’) mempunyai satu pokok makna (arti), yaitu; hendaklah engkau mencondongkan sesuatu kepadamu dengan suara dan kalimat yang keluar dari dirimu”. (Mu’jam Al-Maqayisul Lughah, hal. 356)

Maksudnya, engkau berusaha membuat mail sesuatu kepada dirimu, dengan suara dan omongan. Dalam bahasa kita, mail dapat diartikan:
- Mencenderungkan
- Mencondongkan
- Membuat tertarik
- Membuat terpancing, atau semacamnya

Bila kesimpulan Ibnu Faris itu kita hayati, banyak pelajaran yang bisa kita ambil dalam berdakwah, diantaranya:

1. Secara bahasa, bila ada seekor ayam lewat di hadapan kita, lalu kita berusaha memancing perhatiannya agar menoleh kepada kita, lalu kita katakan, kuur...kuur... Maka secara bahasa, kita bisa mendakwahi ayam itu.

Lain halnya kalau yang hendak kita pancing perhatiannya adalah seekor kucing, maka untuk mendakwahinya kita tidak mengatakan kuur...kuur..., akan tetapi kita katakan, pus...pus...pus... Ini mengajarkan kepada kita, bahwa perbedaan obyek dakwah mengharuskan adanya perbedaan cara & metode dakwah yang digunakan. Mendakwahi mahasiswa berbeda dengan mendakwahi dosen. Berdakwah dikalangan birokrat berbeda dengan dakwah di tengah-tengah masyarakat, dan seterusnya.

2. Sebagai seorang da’i, kita harus aktif, selalu sebagai pihak yang berinisiatif dan proaktif. Ingat kata-kata Ibnu Faris, engkau berusaha membuat mail... Sikap pasif dalam berdakwah tidaklah dibenarkan. Bahkan, dalam tinjauan dakwah, sikap reaktif pun (dalam arti, setelah ada aksi orang lain, kita sebagai da’i baru mengambil sikap), tidaklah dibenarkan, meskipun harmoni dakwah terkadang menuntut kita untuk melakukan sikap reaktif.

3. Yang menjadi incaran para da’i adalah bagaimana obyek dakwah itu tertarik, terpancing perhatiannya, cenderung dan condong kepada sang da’i. Oleh karena itu, seorang da’i harus:

- Memiliki daya tarik yang membuat obyek dakwah cenderung kepadanya. Hal-hal yang menarik itu (tentunya dengan syarat tidak bertentangan dengan syari’at Islam) mulai dari iltizam (komitmen) diri, shidq (benar), penampilan, tutur kata, metodologi, gaya bicara, ilustrasi, cara pemaparan informasi dan pengetahuan, serta -singkatnya- segala nilai plus yang mungkin kita miliki. Nilai plus inilah yang menjadikan proton berhasil menyebabkan elektron selalu berada didekatnya, bahkan bertawaf (atau istilah dakwahnya: yultaffuna haulana) secara terus menerus, sebagaimana tawafnya manusia disekiling Ka’bah. Dalam bahasa fisika yang lain dikatakan, dengan nilai plus itulah kita akan menjadi laksana magnet yang menyebabkan segala unsur yang sangat berdaya guna (seperti biji-biji besi) selalu menempel kepadanya.

- Mengetahui pintu-pintu dan celah-celah hati, kejiwaan, dan kecenderungan obyek dakwah, agar mudah dan efektif dalam memikat dan menarik perhatian obyek dakwahnya. Tentunya hal ini menuntut adanya pengetahuan sang da’i secara mendalam tentang keseluruhan pribadi obyek dakwahnya itu.

Karena inilah barangkali (wallahu a’lam), salah seorang da’i abad dua puluh ini menulis buku dengan judul Ad-Da’watu Ilallah Hubbun (Dakwah kepada Allah Itu Cinta), yaitu Syaikh Abbas As-Sisi.

Maka kita didik dan tarbiyahlah diri agar menjadi representasi dan dakwah Islam! Bergaullah dengan obyek dakwah kita, di sekolah, di kampus, di masjid, di lingkungan RT/RW, di kantor, di tempat kerja, di jalan, di pasar, dimana saja! Kenalilah mereka, pelajarilah seluk beluk hati nurani mereka, lalu masuklah melalui pintu-pintunya, insya Allah kita akan menjadi manusia-manusia penyebab terhidayahinya banyak orang. Jika hal ini terlaksana, kita mendapatkan sesuatu yang lebih baik daripada kekayaan yang paling berharga (humrun na’am), seperti sabda Rasulullah saw:

“Maka demi Allah, sungguh Allah memberikan hidayah kepada satu orang saja karena kamu, itu lebih baik bagimu daripada harta kekayaan yang paling berharga” (Muttafaqun ‘Alaih)

Atau, akan mendapatkan imbalan sebesar yang didapat oleh orang-orang yang telah mendapatkan hidayah itu.

“Siapa yang membuat sunnah (keteladanan) dalam Islam dengan sunnah yang baik, lalu sunnah itu dijadikan amal setelahnya (dijadikan ikutan), maka Allah SWT mencatatkan untuknya semisal pahala orang-orang yang mengerjakan sunnah itu tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun” (HR. Muslim)

Bersambung...

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008