Selasa, 28 Desember 2010

Seri Bedah Buku: Dengan Cinta Aku Berdakwah (7)

D. Dibawah Naungan Cinta

Diriwayatkana dari Anas ra, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw perihal hari kiamat. “Kapan datangnya kiamat?’, tanyanya. “Apa yang telah engkau persiapkan?”, Nabi balik bertanya. Laki-laki itu menjawab, “Tidak sesuatu pun, kecuali bahwa saya mencintai Allah dan Rasul-Nya”. “Engkau bersama dengan orang yang kau cintai”, jawab Nabi saw.

Anas ra berkata, “Betapa gembiranya aku akan sabda Nabi saw, “Engkau bersama dengan orang yang kau cintai”. Aku mencintai Nabi saw, Abu Bakar dan Umar dan aku berharap senantiasa bersama mereka kelak karena kecintaanku kepada mereka, meskipun aku belum beramal sebagaimana amalan mereka”. (HR. Asy-Syaikhani)

1. Jalan menuju perubahan
Cinta, kata Jasim Badr Al-Muthawwi, adalah jalan pintas menuju perubahan. Betapa banyak jiwa yang berubah menjadi baik disebabkan cinta. Betapa banyak akal yang terbenahi dikarenakan cinta?

Namun tanpa disadari karena cinta juga -ketika salah persepsi dan salah mendidik dan mengarahkannya- justru akan menjadi bumerang yang menghancurkan jiwa, raga, keluarga, masyarakat, negeri bahkan seluruh umat manusia.

Disinilah salah satu urgensi betapa cinta sekecil apapun mesti kita kelola secara profesional agar tidak salah proporsi dalam bercinta.

Allah dan Rasul-Nya memaparkan rambu-rambu cinta itu secara gamblang dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga manusia yang berpegang pada keduanya dialah yang akan beruntung dengan cintanya.

Dalam petikan hadist tersebut nampak jelas bagaimana cinta mampu menjadi senjata ampuh untuk mengantisipasi masa depan abadi manusia, tepatnya hari kiamat. Adapun dari sisi urgensi bahwa visi dan persepsi cinta seorang muslim-mukmin haruslah jauh kedepan. Sehingga dapat teraplikasi dan melahirkan bukti cinta yang konkrit bukan cinta semu. Ini yang ditekankan dalam metode tarbiyah Nabi saw yang terbukti berhasil melahirkan bunga-bunga cinta berupa amal shalih dan akhlak mulia yang semerbak menebar aroma sepanjang zaman.

Dalam sejarahnya, cinta mampu merubah pemikiran maupun perilaku manusia. Karena cinta mempengaruhi pelakunya sesuai kecenderungan hatinya. Sebagaimana dalam khazanah Jawa dikatakan bahwa orang kalau sudah cinta maka “Wingko ketok kencono” (sesuatu yang biasa menjadi menarik karena ada perasaan cinta). Tapi kalau sudah benci “Kencono ketok wingko” (kebaikan sebesar apapun tidak dihargai).

Cinta yang demikian memang sangat subyektif, tapi memang begitulah manusia. Maka disinilah pentingnya kita mengelola cinta secara cerdas agar mampu membawa perubahan kepada kebaikan sebagaimana dapat kita saksikan dalam lemabaran sirah.

Putri Nabi saw, Zainab dengan bekal cintanya mampu mengajak kembali Al-Ash bin Rabi’, sang suami yang lari dari Mekkah karena hendak lari dari Islam. Sebagai seorang istri yang bijak dia menulis surat kepada sang suami agar kembali ke Mekkah dan memeluk Islam. Dan akhirnya Zainab dapat mendatangkan dan mengislamkannya, dengan bekal cinta atas izin Allah Azza wa Jalla.

2. Memobilisasi amal shalih

Bukanlah suatu perubahan yang sukses manakala nilai perubahan tersebut tidak mampu memberikan kontribusi positif terhadap dinamika dan kinerja umat. Maka keberhasilan proses perubahan itu sesungguhnya terukur pada kualitas amal shalih, bukan sekedar kuantitasnya.

Sebagai gambaran perubahan yang sukses pada realita amal kita dapat bercermin pada aplikasi cinta para sahabat terhadap Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya. Sehingga tatkala datang seruan iman, ibadah dan amal shalih mereka tampak sekali bekas-bekas mahabbah menghiasi amal mereka. Allah SWt berfirman;

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Ali Imran: 31)

Dalam berbagai kesempatan, cinta membuktikan peranannya, bahkan melahirkan rijal-rijal pembela dien Allah sehingga tidak tertutup kemungkinan untuk menyumbangkan bukti cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah ibunda Afra’ yang mendorong kedua anaknya yang masih belia, Auf dan Mu’adz untuk terjun dalam kancah jihad Badar. Merekalah yang menamatkan riwayat Abu Jahal.

Bersambung...

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008