Jumat, 07 Agustus 2009

Makna Keikhlasan Dalam Pengabdian

Tahun 2001, sebuah pintu masjid kampus terbuka untuk saya. Di tengah galaunya hidup, yang nyaris tanpa tujuan, seorang teman memperkenalkan sebuah “dunia” yang betul-betul aneh ketika itu; melayani orang banyak tanpa pamrih. Pagi-pagi sekali harus bergegas (sebelum orang lain bangun), kutinggalkan kamar tuk membukakan pintu masjid lebar-lebar, menyalakan lampu, mengisi air wudlu, kemudian menghidupkan amplifier, bacaan murottal terdengar sayup-sayup menunggu saat shubuh tiba.

Pukul 05.30, ketika para jama’ah sudah meninggalkan masjid, mulailah rutinitas “wajib” yang harus dilakukan oleh seluruh khodimul masjid di penjuru dunia ini, yakni; mematikan seluruh lampu, menyapu luar dan dalam masjid, menyapu pelataran, mengepel lantai (terutama teras), kemudian menutup kembali pintu sampai waktu adzan dhuhur tiba.

Saya harus memeriksa tempat wudhlu dan kamar mandi dengan cermat, agar tak ada satupun jama’ah yang terpeleset saat hendak wudhlu. Dan tentu, memastikan apakah saklar pompa air sudah dimatikan. Setiap hari Jum’at; lantai dan kaca-kaca harus di-pel dan dibersihkan. Pekerjaan itu, biasanya selesai pada pukul 09.00. Kembali ke wisma untuk mandi dan berangkat kuliah.

Berat ? Tentu saja berat. Tak ada gaji untuk seorang khodimul masjid kecuali makanan kecil yang biasa diantar oleh ibu-ibu dosen sekitar masjid kampus yang merasa iba kepada kami. Pada awal bulan pertama melakukannya, sungguh teramat terbebani. Pulang kuliah biasanya pukul 11.30; dan harus melakukan rutinitas seperti halnya pagi hari hingga sholat Isya’ selesai, ketika para jama’ah bergegas meninggalkan masjid, barulah saya bisa beristirahat dan belajar.

Berat atau ringannya beban pekerjaan, ternyata tergantung pada niat. Pada awal saya “bekerja” di masjid kampus ini, saya memang berniat melulu hanya untuk mencari tempat terdekat dengan kampus. Dari sebuah niat yang salah itulah, hidup saya tidak tenteram. Dan hari-hari yang saya lalui terasa begitu amat berat.

Subhanallah ! Betapa berbulan kemudian saya merasa malu. Dengan cara-Nya yang teramat tersembunyi, Allah SWT memberikan kesadaran yang teramat penting bagi saya; dipertemukannya saya dengan orang yang sama-sama mengabdi di masjid juga. Dibukalah hati saya untuk sebuah keikhlasan dan pengabdian.

Begitulah, pada akhirnya saya bisa menikmati kebahagiaan dan ketenteraman dari lubuk hati yang terdalam, betapa hari-hari kemudian saya melakukan rutinitas seperti diatas tanpa merasakan beban apapun. Memang benar, jika mengerjakan dengan ikhlas dan dengan hati yang tulus; maka tiada terasa berat pekerjaan, walaupun sesungguhnya memang berat.

Sampai disanakah keajaiban masjid ?

Dari masjid itu pulalah saya memperoleh banyak ilmu; mulai dari ilmu tampil percaya diri di depan podium, pengajian kitab kuning yang disampaikan oleh para ustadz, tata cara khutbah yang baik, dan semangat untuk terus menuntut ilmu. Dari masjid itu pulalah saya meyakini betapa besar kekuatan doa yang menjadikan saya begitu gigih dalam berjuang.

Begitulah sekelumit pengalaman saya, siapa tahu bermanfaat bagi para khodimul masjid yang sekarang tengah berjuang yang kadangkala semangat juangnya untuk mengabdikan diri di masjid mulai luntur.

Dan tak kalah pentingnya adalah; disinilah saya belajar melayani umat, belajar me-manajemen masjid, jiwa kepemimpinan (leadership) dan sebetulnya masih banyak lagi manfaatnya mengabdi di Rumah Allah itu.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008