Bayangan tentang pasangan sebelum menikah tak sepenuhnya mirip dengan realitas yang dihadapi setelah pernikahan. Akan ada hal di luar dugaan tentang pasangan yang kita temui. Lalu, jika kejutan yang muncul itu buruk, bagaimana cara menyikapi dan mengantisipasinya.
Munculnya sifat atau kebiasaan buruk yang selama ini tak pernah terungkap dapat menimbulkan percecokan yang berkepanjangan. Apa lagi pada pasangan yang mengawali pernikahan mereka dengan pacaran. "Aku kenal dia dulu tak seperti ini!" Biasanya kalimat seperti ini yang keluar dari mulut mereka, plus ekspresi yang penuh kejengkelan.
Lalu bagaimanakah menanggulangi masalah ini?
Memang, pacaran membawa resiko sulitnya merubah persepsi tentang pasangan. Orang akan memandang pasangannya seperti apa yang ia ketahui dulu. Jika sekarang ia menemukan sesuatu yang berbeda, ia jadi sulit menerima dan menyesuaikan diri.
Di sinilah letak pangkal masalahnya. Persepsi tentang pasangan akan menumbuhkan harapan-harapan tertentu terhadap perkawinan. Resiko dari setiap haarapan adalah kekecewaan, daan kekecewaan tentu saja akan mempertajam perselisihan dan memperlemah kemampuan menyesuaikan diri.
Jika marital expectation (angan-angan perkawinan) berbanding terbalik dengan marital satisfaction (kepuasan perkawinan), tidak demikian halnya dengan marriage orientation (orientasi atau landasan menikah). Semakin mendasar orientasi perkawinan seseorang, insya Allah semakin mudah meraih kebahagiaan perkawinan. Ini artinya kebahagiaan perkawinan lebih berkait dengan apa yang menggerakkan seseorang menikah dan menjalani pernikahan.
Hadits-hadits tentang pernikahan dan memilih jodoh lebih banyak mengajarkan soal membangun marriage orientation yang baik, mantap dan mendasar. Ini mempengaruhi komitmen kedua pihak. Jika harapan membawa kita banyak menuntut pasangan, maka komitmen lebih membimbing kita untuk menerima dan pada saat yang sama berbuat.
Kenyataannya, yang banyak mempengaruhi percekcokan dan kehancuran rumah tangga bukanlah masalah pengenalan yang kurang mendalam dan ketidaksesuaian pasangan dengan bayangan semula.
Yang terpenting adalah memiliki sikap mental yang dewasa dan matang. Bahwa ada perbedaan, itu sangat wajar. Ada yang tidak kita sukai, juga sangat wajar. Terhadap diri sendiri pun, seringkali ada yang tidak disukai. Yang diperlukan adalah menata, memperbaiki dan memulihkan (jika sebelumnya baik). Jadi yang terpenting adalah bagaimana kita melakukan penyesuaian diri, menyatakan ketidaksetujuan dan ketidaksukaan serta bagaimana cara mengubah sikap pasangan.
Bagaimana kalau dia tidak mau diubah? Pertanyaan itulah yang justru membuat perubahan tidak mungkin terjadi. Ini pertanyaan pesimistik, dan membuat kita cepat lelah.
Memang, adakalanya keluhan tentang pasangan yang tidak mau berubah disebabkan oleh persoalan psikologis pasangan, tetapi itu sifatnya kasuistik. Sesuatu yang bersifat kasuistik, tidak bisa dijadikan dalil umum.
Sebenarnya ada kekuatan besar yang mampu membuat orang tangguh dalam menghadapi segala kesulitan, termasuk problema rumah tangga, kekuatan ini bernama niat. Dalam bahasa psikologi sering diungkapkan dalam istilah intensi, motivasi maupun orientasi. Ini mempengaruhi persepsi kita dalam menghadapi segala sesuatu.
Seorang petualang, menganggap kesulitan saat mendaki gunung sebagai tantangan yang memberi kebahagiaan, kepuasan dan makna. Mereka bahkan sengaja melewati jalur sulit yang belum pernah, atau sangat jarang, dilalui pendaki lain. Tetapi seorang yang datang ke gunung sekedar untuk rekreasi dan memperoleh nikmatnya pemandangan, sulitnya medan akan terasa sebagai derita berkepanjangan.
Menikahpun demikian, ada yang berangkat dengan bekal mental sebagai petualang yang ingin menancapkan cita-cita besar, ada yang berangkat dengan romantisme belaka, tetapi dirinya sendiri tak sanggup membangun suasana romantis.
Nah, kunci dari semua itu adalah niat yang tulus untuk menikah dan memang mencari seorang pendamping hidup yg shalih.shalihah, bukan karena tendensi yang lain…
Munculnya sifat atau kebiasaan buruk yang selama ini tak pernah terungkap dapat menimbulkan percecokan yang berkepanjangan. Apa lagi pada pasangan yang mengawali pernikahan mereka dengan pacaran. "Aku kenal dia dulu tak seperti ini!" Biasanya kalimat seperti ini yang keluar dari mulut mereka, plus ekspresi yang penuh kejengkelan.
Lalu bagaimanakah menanggulangi masalah ini?
Memang, pacaran membawa resiko sulitnya merubah persepsi tentang pasangan. Orang akan memandang pasangannya seperti apa yang ia ketahui dulu. Jika sekarang ia menemukan sesuatu yang berbeda, ia jadi sulit menerima dan menyesuaikan diri.
Di sinilah letak pangkal masalahnya. Persepsi tentang pasangan akan menumbuhkan harapan-harapan tertentu terhadap perkawinan. Resiko dari setiap haarapan adalah kekecewaan, daan kekecewaan tentu saja akan mempertajam perselisihan dan memperlemah kemampuan menyesuaikan diri.
Jika marital expectation (angan-angan perkawinan) berbanding terbalik dengan marital satisfaction (kepuasan perkawinan), tidak demikian halnya dengan marriage orientation (orientasi atau landasan menikah). Semakin mendasar orientasi perkawinan seseorang, insya Allah semakin mudah meraih kebahagiaan perkawinan. Ini artinya kebahagiaan perkawinan lebih berkait dengan apa yang menggerakkan seseorang menikah dan menjalani pernikahan.
Hadits-hadits tentang pernikahan dan memilih jodoh lebih banyak mengajarkan soal membangun marriage orientation yang baik, mantap dan mendasar. Ini mempengaruhi komitmen kedua pihak. Jika harapan membawa kita banyak menuntut pasangan, maka komitmen lebih membimbing kita untuk menerima dan pada saat yang sama berbuat.
Kenyataannya, yang banyak mempengaruhi percekcokan dan kehancuran rumah tangga bukanlah masalah pengenalan yang kurang mendalam dan ketidaksesuaian pasangan dengan bayangan semula.
Yang terpenting adalah memiliki sikap mental yang dewasa dan matang. Bahwa ada perbedaan, itu sangat wajar. Ada yang tidak kita sukai, juga sangat wajar. Terhadap diri sendiri pun, seringkali ada yang tidak disukai. Yang diperlukan adalah menata, memperbaiki dan memulihkan (jika sebelumnya baik). Jadi yang terpenting adalah bagaimana kita melakukan penyesuaian diri, menyatakan ketidaksetujuan dan ketidaksukaan serta bagaimana cara mengubah sikap pasangan.
Bagaimana kalau dia tidak mau diubah? Pertanyaan itulah yang justru membuat perubahan tidak mungkin terjadi. Ini pertanyaan pesimistik, dan membuat kita cepat lelah.
Memang, adakalanya keluhan tentang pasangan yang tidak mau berubah disebabkan oleh persoalan psikologis pasangan, tetapi itu sifatnya kasuistik. Sesuatu yang bersifat kasuistik, tidak bisa dijadikan dalil umum.
Sebenarnya ada kekuatan besar yang mampu membuat orang tangguh dalam menghadapi segala kesulitan, termasuk problema rumah tangga, kekuatan ini bernama niat. Dalam bahasa psikologi sering diungkapkan dalam istilah intensi, motivasi maupun orientasi. Ini mempengaruhi persepsi kita dalam menghadapi segala sesuatu.
Seorang petualang, menganggap kesulitan saat mendaki gunung sebagai tantangan yang memberi kebahagiaan, kepuasan dan makna. Mereka bahkan sengaja melewati jalur sulit yang belum pernah, atau sangat jarang, dilalui pendaki lain. Tetapi seorang yang datang ke gunung sekedar untuk rekreasi dan memperoleh nikmatnya pemandangan, sulitnya medan akan terasa sebagai derita berkepanjangan.
Menikahpun demikian, ada yang berangkat dengan bekal mental sebagai petualang yang ingin menancapkan cita-cita besar, ada yang berangkat dengan romantisme belaka, tetapi dirinya sendiri tak sanggup membangun suasana romantis.
Nah, kunci dari semua itu adalah niat yang tulus untuk menikah dan memang mencari seorang pendamping hidup yg shalih.shalihah, bukan karena tendensi yang lain…
0 komentar:
Posting Komentar