Minggu, 23 Januari 2011

Andai Doraemon Berbaik Hati…

Aku ingin begini..
Aku ingin begitu..
Ingin ini, ingin itu..
Banyak sekali..

Semua, semua, semua..
Dapat dikabulkan ..
Dapat dikabulkan..
Dengan kantong ajaib..
---------------------------------------------------------------------------------

Sepenggal lyric algu diatas tentunya sudah tidak asing ditelinga kita, kan? Emm, saya mengenal dan mendengarnya ketika saya masih Sekolah Dasar, kira-kira 16 tahun yang lalu. Dan, entah film kartun itu masih exis apa tidak di salah satu stasiun televisi swasta kita. Karena saya sudah jarang nonton televisi kecuali kabar berita dan sepakbola.

Berawal dari update status saya kemarin malam, iseng saya melontarkan pertanyaan tersebut kepada teman-teman di FB ini; Andai Doraemon berbaik hati meminjamkan alat dari kantong ajaibnya, alat apa yang kamu minta? Secara tak terduga, banyak yang mengomentari status saya itu. Komentarnya pun juga lucu-lucu. Ada yang minta: pintu ajaib supaya bisa kemana saja dia suka, ada yang minta kantongnya doraemon supaya dia bisa meminta apa yang dia inginkan sesuka hati, ada yang minta alat supaya semua orang bisa jujur, ada yang minta supaya bisa memutar balik waktu supaya bisa memperbaiki kesalahan di masa lalu, ada yang minta ini, ada yang minta itu.. Fiuuhhh, hingga saya tidak sanggup menuliskannya di catatan ini karena saking banyaknya yang diinginkan.

Dulu, ketika masih SD dan SMP saya hanya menikmati film kartun tersebut dikala sekolah libur. Ya, hanya sekedar mengisi waktu senggang. Pernah terbersit dalam hati, duh enaknya bila punya kantong seperti Doraemon yang bisa mengeluarkan suatu alat yang bisa memenuhi keinginan kita. Hehe, itu dulu…^_^

Namun, ketika saya menginjak fase SMU, saya jadi berfikir; apa yang dimaksudkan oleh Sang Produser tentang film Doraemon ini ya? Masak hanya hiburan semata? Meski, mungkin Sang Produser tidak memedulikan apa maksud dibalik film kartun tersebut -yang penting filmnya laku dan banyak keuntungannya- Tapi tidak bagi saya! Segala sesuatu pasti bisa kita ambil hikmahnya atau nilai positifnya.

Maka setelah berminggu-minggu, Eureka!!.. Akhirnya saya mengerti maksud dibalik film Doraemon ini. Teman, maukah anda saya beritahu hasil pemikiran dan kontemplasi saya tentang film kartun tersebut?

Saudaraku, seringkali sesuatu yang tadinya menjadi milik kita, atau sesuatu yang berada dekat dengan diri kita, menjadi begitu berharga ketika ia telah pergi, meninggalkan diri kita. Entah itu karena dipaksa, terpaksa, atau dengan sukarela. Seringkali, ketika ia masih menjadi bagian dalam hidup kita, ia tak mendapatkan penghargaan selayaknya, atau setidaknya mendapatkan perhatian cukup dari diri kita. Namun, bila ia telah pergi atau hilang, rasanya penyesalan yang terasa tak kan berkesudahan.

Seseorang yang berusaha demikian keras untuk mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya, baik dengan “menguncinya” rapat-rapat, menyembunyikannya supaya tak hilang, atau menyewa sekian banyak bodyguard demi menyelamatkan harta miliknya itu, tetap saja ia tak bisa berbuat apa-apa bila harus kehilangan. Entah dengan cara apapun kehilangan itu terjadi.

Maka, bila kita harus kehilangan, apapun yang kita cintai, relakanlah ia. Sebab mungkin saja Allah mengambilnya dari kita sebab akan digantikan oleh yang lebih baik lagi. Yang jelas, Sang Khalik pasti memiliki rencana tersendiri bagi setiap hamba-Nya. Apa yang menurut diri kita baik, belum tentu itu yang terbaik di hadapan Allah. Dan sebaliknya, apa yang kita tidak sukai, bisa jadi itu adalah yang terbaik dari Allah dan sesuai dengan yang kita butuhkan.

Itulah mengapa di akhir film Doraemon, alat yang dipakai oleh Nobita dkk-nya pasti diambil kembali oleh Doraemon dan dimasukkan lagi ke kantong ajaibnya.
Sesungguhnya, segala sesuatu yang berada dalam “genggaman” kita bahkan diri kita ini, bukanlah milik kita sepenuhnya. Semuanya hanyalah titipan, yang sewaktu-waktu akan diambil oleh Sang Pemilik, kapanpun bila Ia berkehendak. Bila saat itu tiba, kita tidak akan berdaya untuk menahannya barang sedetikpun.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008