C. Doa Dalam Cinta
Dalam mengekspresikan cinta, doa adalah bukti utama. Orang yang cinta, akan senatiasa menyebut nama yang dicintainya. Karena kebahagiaan sejati sang kekasih apabila mendapati kekasih hatinya meraih kebahagiaan itu. Sebagaimana yang dirasakan Rasulullah betapa beliau sangat cinta terhadap umatnya sehingga selalu memohon kepada Allh bagi keselamatan umatnya. Allah mengabadikannya dalam Al-Qur’an:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. (At-Taubah: 128)
Itulah bukti cinta Rasul terhadap hidayah umatnya agar terselamatkan ari adzab api neraka. Sehingga beliau rela berpayah-payah mengarungi jalan dakwah demi hidayah Allah untuk umatnya. Maka beliau menggolongkan orang yang tak punya cinta kepada saudaranya sebagai orang yang tak punya iman.
“Tidak beriman (dengan sempurna) diantara kamu sehingga kamu mencintai saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri” (HR. Muslim)
Dan doa adalah salah satu parameter iman: masih adakah cinta di hati kita? Sudikah kita berdoa untuk keselamatan saudara-saudara kita, untuk mendapat hidayah Allah, agar terhindar dari api neraka, agar bersama kita dimasukkan ke dalam syurga-Nya? Doa dalam cinta, itulah jawabnya sebagaimana yang dicontohkan sahabat Nabi yakni Abu Hurairah.
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Aku pernah mengajak ibuku untuk masuk Islam. Maka suatu hari aku mengajaknya. Kemudian ia mengatakan kepadaku sesuatu yang jelek kepada Rasulullah. Maka aku datang kepada Rasulullah saw dan menangis seraya kukatakan, “Wahai Rasul, sesungguhnya aku telah mengajak ibuku untuk masuk Islam. Akan tetapi ia menolak ajakanku, dan pada suatu hari kau mengajaknya, maka ia malah mengolok-olok dengan kata-kata yang tidak aku sukai. Ya Ralulallah, doakanlah ibuku kepada Allah, agar Dia memberi hidayah kepada ibuku”. Maka Nabi saw berdoa.
“Ya Allah, berikanlah hidayah (petunjuk) kepada ibu Abu Hurairah”
Maka aku pulang dengan gembira karena Rasulullah sudah mendoakan ibuku. Ketika aku datang dan hendak menuju pintu, ternyata pintu itu tertutup. Ibuku mendengar derap tapak kakiku, lalu ibuku berkata, “Tetaplah di tempatmu, wahai anakku”. Dan aku mendengar gemericik suara air. Abu Hurairah berkata, “Kemudian ibuku mengenakan baju dan jilbabnya, lalu membuka pintu seraya berkata;
“Wahai anakku, aku bersaksi bahwa tiada ilah yang patut disembah kecuali Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan-Nya”
Kemudian Abu Hurairah berkata, “Kemudian aku kembali kepada Rasulullah dan mengabarkan kepadanya, maka Rasulullah memuji kepada Allah dan berkata “Alhamdulillah”. (HR. Muslim dan Ahmad)
Diriwayatkan dari Abu Murrah ra, sesungguhnya Abu Hurairah ra bila keluar dari rumahnya berdiri di depan pintu ibunya lalu berkata, “Assalamu’alaiki, wahai ibuku warahmatullahi wabarakatuhu”. Maka ibuku berkata, “Wa’alaikas salam, wahai anakku warahmatullahi wabarakatuhu”, “Semoga Allah merahmatimu sebagaimana engkau mendidikku sewaktu kecil”. Sang ibu pun berkata, “Semoga Allah mencurahkan rahmat kepadamu sebagaimana engkau berbuat baik kepadaku sewaktu kamu besar (saat ini)”. Dan apabila hendak masuk rumah, Abu Hurairah pun berbuat baik demikian. (HR. Bukhari)
Itulah amunisi dakwah para da’i. sayangnya kini banyak kita saksikan para da’i yang mengabaikan doa karena terlalu percaya diri. Dengan retorika yang memukau hati membuat audiens berdecak simpati sementara dirinya jauh dari taqarrub ilallah.
Saudaraku, untuk membangun kembali umat yang tengah terserak ini, mari kita bangkit diri dengan bersenjatakan doa ini disamping upaya manusiawi seperti penguasaan materi yang terwujud dalam kepribadian, performa yang rapi, dan pilihan kata yang mampu menyentuh hati.
Bila doa menyertai keberhasilan tidak akan menimbulkan ujub diri, dan bila gagal tak akan berkeluh kesah atau berkecil hati. Inilah manhaj rabbani yang telah dilalui para Nabi kekasih ilahi.
Hujjatul Islam Al-Ghazali –sebagimana dikutip Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam kitab Niat dan Ikhlas- berpesan;
“Orang yang paling berat menghadapi ujian adalah para Ulama. Faktor pendorong pada diri kebanyakan diantara mereka tatkala menyebarkan ilmu adalah kemikmatan bisa menguasai manusia dan kesenangan orang-orang yang mengikutinya serta banyaknya ujian yang dilontarkan kepadanya….” (Niat dan Ikhlas, 1997: 54)
berarti doa harus selalu dibingkai keikhlasan hati, agar tidak lalai bahwa semuanya terjadi atas kehendak rabbani. Lalu apa pentingnya doa dalam mewujudkan cinta yang suci?
1. Doa adalah pembuka hati
Mengajak manusia ke jalan Allah kadang berhasil kadang tidak karena itu hak prerogative Allah. Peran da’I adalah mengkomunikasikan dustur rabbani dan menunjuki mana yang haq dan mana yang bathil. Adapun hidayah itu kekuasaan Allah saja.
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (Al-Qashash: 56)
Yang dituntut dari para da’i adalah kesungguhan dan keselarasannya dalam mengelola obyek dakwah menuju jalan Allah.
Bersambung…
Dalam mengekspresikan cinta, doa adalah bukti utama. Orang yang cinta, akan senatiasa menyebut nama yang dicintainya. Karena kebahagiaan sejati sang kekasih apabila mendapati kekasih hatinya meraih kebahagiaan itu. Sebagaimana yang dirasakan Rasulullah betapa beliau sangat cinta terhadap umatnya sehingga selalu memohon kepada Allh bagi keselamatan umatnya. Allah mengabadikannya dalam Al-Qur’an:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. (At-Taubah: 128)
Itulah bukti cinta Rasul terhadap hidayah umatnya agar terselamatkan ari adzab api neraka. Sehingga beliau rela berpayah-payah mengarungi jalan dakwah demi hidayah Allah untuk umatnya. Maka beliau menggolongkan orang yang tak punya cinta kepada saudaranya sebagai orang yang tak punya iman.
“Tidak beriman (dengan sempurna) diantara kamu sehingga kamu mencintai saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri” (HR. Muslim)
Dan doa adalah salah satu parameter iman: masih adakah cinta di hati kita? Sudikah kita berdoa untuk keselamatan saudara-saudara kita, untuk mendapat hidayah Allah, agar terhindar dari api neraka, agar bersama kita dimasukkan ke dalam syurga-Nya? Doa dalam cinta, itulah jawabnya sebagaimana yang dicontohkan sahabat Nabi yakni Abu Hurairah.
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Aku pernah mengajak ibuku untuk masuk Islam. Maka suatu hari aku mengajaknya. Kemudian ia mengatakan kepadaku sesuatu yang jelek kepada Rasulullah. Maka aku datang kepada Rasulullah saw dan menangis seraya kukatakan, “Wahai Rasul, sesungguhnya aku telah mengajak ibuku untuk masuk Islam. Akan tetapi ia menolak ajakanku, dan pada suatu hari kau mengajaknya, maka ia malah mengolok-olok dengan kata-kata yang tidak aku sukai. Ya Ralulallah, doakanlah ibuku kepada Allah, agar Dia memberi hidayah kepada ibuku”. Maka Nabi saw berdoa.
“Ya Allah, berikanlah hidayah (petunjuk) kepada ibu Abu Hurairah”
Maka aku pulang dengan gembira karena Rasulullah sudah mendoakan ibuku. Ketika aku datang dan hendak menuju pintu, ternyata pintu itu tertutup. Ibuku mendengar derap tapak kakiku, lalu ibuku berkata, “Tetaplah di tempatmu, wahai anakku”. Dan aku mendengar gemericik suara air. Abu Hurairah berkata, “Kemudian ibuku mengenakan baju dan jilbabnya, lalu membuka pintu seraya berkata;
“Wahai anakku, aku bersaksi bahwa tiada ilah yang patut disembah kecuali Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan-Nya”
Kemudian Abu Hurairah berkata, “Kemudian aku kembali kepada Rasulullah dan mengabarkan kepadanya, maka Rasulullah memuji kepada Allah dan berkata “Alhamdulillah”. (HR. Muslim dan Ahmad)
Diriwayatkan dari Abu Murrah ra, sesungguhnya Abu Hurairah ra bila keluar dari rumahnya berdiri di depan pintu ibunya lalu berkata, “Assalamu’alaiki, wahai ibuku warahmatullahi wabarakatuhu”. Maka ibuku berkata, “Wa’alaikas salam, wahai anakku warahmatullahi wabarakatuhu”, “Semoga Allah merahmatimu sebagaimana engkau mendidikku sewaktu kecil”. Sang ibu pun berkata, “Semoga Allah mencurahkan rahmat kepadamu sebagaimana engkau berbuat baik kepadaku sewaktu kamu besar (saat ini)”. Dan apabila hendak masuk rumah, Abu Hurairah pun berbuat baik demikian. (HR. Bukhari)
Itulah amunisi dakwah para da’i. sayangnya kini banyak kita saksikan para da’i yang mengabaikan doa karena terlalu percaya diri. Dengan retorika yang memukau hati membuat audiens berdecak simpati sementara dirinya jauh dari taqarrub ilallah.
Saudaraku, untuk membangun kembali umat yang tengah terserak ini, mari kita bangkit diri dengan bersenjatakan doa ini disamping upaya manusiawi seperti penguasaan materi yang terwujud dalam kepribadian, performa yang rapi, dan pilihan kata yang mampu menyentuh hati.
Bila doa menyertai keberhasilan tidak akan menimbulkan ujub diri, dan bila gagal tak akan berkeluh kesah atau berkecil hati. Inilah manhaj rabbani yang telah dilalui para Nabi kekasih ilahi.
Hujjatul Islam Al-Ghazali –sebagimana dikutip Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam kitab Niat dan Ikhlas- berpesan;
“Orang yang paling berat menghadapi ujian adalah para Ulama. Faktor pendorong pada diri kebanyakan diantara mereka tatkala menyebarkan ilmu adalah kemikmatan bisa menguasai manusia dan kesenangan orang-orang yang mengikutinya serta banyaknya ujian yang dilontarkan kepadanya….” (Niat dan Ikhlas, 1997: 54)
berarti doa harus selalu dibingkai keikhlasan hati, agar tidak lalai bahwa semuanya terjadi atas kehendak rabbani. Lalu apa pentingnya doa dalam mewujudkan cinta yang suci?
1. Doa adalah pembuka hati
Mengajak manusia ke jalan Allah kadang berhasil kadang tidak karena itu hak prerogative Allah. Peran da’I adalah mengkomunikasikan dustur rabbani dan menunjuki mana yang haq dan mana yang bathil. Adapun hidayah itu kekuasaan Allah saja.
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (Al-Qashash: 56)
Yang dituntut dari para da’i adalah kesungguhan dan keselarasannya dalam mengelola obyek dakwah menuju jalan Allah.
Bersambung…
0 komentar:
Posting Komentar