Kerap orang memahami kebebasan sebagai bisa atau boleh melakukan apa saja sesuka hati. Pemahaman ini keliru. Kebebasan yang tanpa batas adalah kebebasan yang tidak bertanggung-jawab. Kebebasan yang sesungguhnya adalah bukan kebebasan untuk, tetapi kebebasan dari.
Maksudnya begini, kebebasan sejati bukan berarti bebas untuk melakukan apa saja dan semau-maunya. Sebab, segera seseorang itu bebas melakukan segala hal sekehendak hatinya, segera
pula ia akan jatuh pada perbudakan lainnya; entah diperbudak oleh hawa nafsunya, entah juga diperbudak oleh ambisinya.
Kebebasan sejati adalah bebas dari egoisme dan egosentrisme; dari pikiran dan perasaan jahat, dari perilkau dan kebiasaan buruk, dari benda-benda dan hal-hal lain yang bisa membelenggu (baca: hubbud dunya) hati dan pikiran.
Tidak sedikit orang yang secara fisik bebas, tetapi secara pikiran dan mental ia sebenarnya sedang terbelenggu. Sebaliknya, ada orang yang secara fisik tidak sebebas orang lain; misalnya sedang di penjara, atau sedang menderita sakit tertentu, tetapi hati dan pikirannya tetap bebas. Ia tidak tenggelam dalam kenestapaan, apalagi sampai stress. Ia tetap bisa merasakan kegembiraan dan kebahagiaan, serta menikmati hari-harinya dengan rasa syukur. Sebut saja, Buya Hamka; meski jasad beliau berada di penjara, mampu menyelesaikan Tafsir Al-Azhar-nya diruangan sempit itu dan menjadi karya yang monumental. Seorang Syekh & Mursyid Besar dari Malaysia; Abuya Ashaari Muhammad dikenakan tahanan rumah (disebut ISA) di Malaysia, mampu membuahkan puluhan buku & syi’ir/madah hingga ribuan sedang beliau sendiri dalam keadaan kurang sehat (baca; sedang sakit zhahirnya).
Jadi, kebebasan tidak ditentukan oleh situasi dan kondisi di luar diri kita. Kebebasan yang sejati ada di dalam diri kita, sepenuhnya tergantung pada diri kita sendiri; bagaimana hati dan pikiran kita menyikapi apa yang terjadi dan kita alami.
Sikap hati dan pikiran kerap memasung kebebasan kita antara lain; obsesi terhadap kekuasaan dan kekayaan. Orang-orang yang terobsesi dengan kekuasaan dan kekayaan, akan rela membayar berapa saja dan melakukan apa saja demi mengejar dan mempertahankannya bahkan sampai menhalalkan segala cara.
Mereka lupa, kekuasaan sebesar apapun dan kekayaan sebanyak apapun, pada akhirnya hanya akan menyisakan tanah kuburan satu kali dua meter. Mereka lupa, bahwa kekuasaan dan kekayaan adalah titipan Tuhan yang harus dipertanggung-jawabkan, bukan milik pribadi yang bisa dipergunakan seenaknya dan sesuka hatinya.
Kecemasan masa depan dan kenangan masa lalu; baik kenangan buruk maupun kenangan yang menyenangkan, juga tidak jarang membelenggu kita. Padahal, yang namanya masa lalu, entah pahit atau manis, tetaplah bukan kenyataan saat ini dan kita tidak hidup di masa lalu. Demikian juga masa depan; sesungguhnya kita tidak pernah tahu pasti apa yang kelak akan terjadi. Yang kita cemaskan kerap hanya bayangan diri kita sendiri, dan belum tentu terjadi.
Perasaan-perasaan negative seperti; amarah yang disertai dendam, kebencian dan kekecewaan yang terus dipelihara, ketidakpuasan terhadap apa yang ada lalu iri hati (hasad) dengan orang lain, juga bisa membuat kita terbelenggu. Ketika perasaan-perasaan negative itu menguasai, kita tidak saja akan kehilangan saat-saat menyenangkan dalam hidup ini, tetapi kita juga akan lelah sendiri.
Karena itu, untuk bisa mengalami kebebasan sejati, tidak ada cara lain; belajar memaafkan orang yang kita benci atau pernah membuat kita begitu marah, bukan untuk siapa-siapa tetapi untuk ketenangan dan kebahagiaan kita sendiri.
Dan yang paling penting adalah, belajarlah menikmati hidup dan bersyukur dengan apa yang ada. Tidak mudah memang, tetapi itulah yang kita lakukan. Sesuatu yang tidak kita harapkan (sesuatu yang negative/maksiat), kalau kita bisa ubah, ubahlah. Kalau tidak bisa kita ubah, minimal kita dan keluarga kita serta orang-orang dalam jangkauan kita tidak ikut-ikutan atau terjerumus ke sesuatu negative tersebut.
Hidup memang tidak selalu berjalan seperti yang kita harapkan…
Maksudnya begini, kebebasan sejati bukan berarti bebas untuk melakukan apa saja dan semau-maunya. Sebab, segera seseorang itu bebas melakukan segala hal sekehendak hatinya, segera
pula ia akan jatuh pada perbudakan lainnya; entah diperbudak oleh hawa nafsunya, entah juga diperbudak oleh ambisinya.
Kebebasan sejati adalah bebas dari egoisme dan egosentrisme; dari pikiran dan perasaan jahat, dari perilkau dan kebiasaan buruk, dari benda-benda dan hal-hal lain yang bisa membelenggu (baca: hubbud dunya) hati dan pikiran.
Tidak sedikit orang yang secara fisik bebas, tetapi secara pikiran dan mental ia sebenarnya sedang terbelenggu. Sebaliknya, ada orang yang secara fisik tidak sebebas orang lain; misalnya sedang di penjara, atau sedang menderita sakit tertentu, tetapi hati dan pikirannya tetap bebas. Ia tidak tenggelam dalam kenestapaan, apalagi sampai stress. Ia tetap bisa merasakan kegembiraan dan kebahagiaan, serta menikmati hari-harinya dengan rasa syukur. Sebut saja, Buya Hamka; meski jasad beliau berada di penjara, mampu menyelesaikan Tafsir Al-Azhar-nya diruangan sempit itu dan menjadi karya yang monumental. Seorang Syekh & Mursyid Besar dari Malaysia; Abuya Ashaari Muhammad dikenakan tahanan rumah (disebut ISA) di Malaysia, mampu membuahkan puluhan buku & syi’ir/madah hingga ribuan sedang beliau sendiri dalam keadaan kurang sehat (baca; sedang sakit zhahirnya).
Jadi, kebebasan tidak ditentukan oleh situasi dan kondisi di luar diri kita. Kebebasan yang sejati ada di dalam diri kita, sepenuhnya tergantung pada diri kita sendiri; bagaimana hati dan pikiran kita menyikapi apa yang terjadi dan kita alami.
Sikap hati dan pikiran kerap memasung kebebasan kita antara lain; obsesi terhadap kekuasaan dan kekayaan. Orang-orang yang terobsesi dengan kekuasaan dan kekayaan, akan rela membayar berapa saja dan melakukan apa saja demi mengejar dan mempertahankannya bahkan sampai menhalalkan segala cara.
Mereka lupa, kekuasaan sebesar apapun dan kekayaan sebanyak apapun, pada akhirnya hanya akan menyisakan tanah kuburan satu kali dua meter. Mereka lupa, bahwa kekuasaan dan kekayaan adalah titipan Tuhan yang harus dipertanggung-jawabkan, bukan milik pribadi yang bisa dipergunakan seenaknya dan sesuka hatinya.
Kecemasan masa depan dan kenangan masa lalu; baik kenangan buruk maupun kenangan yang menyenangkan, juga tidak jarang membelenggu kita. Padahal, yang namanya masa lalu, entah pahit atau manis, tetaplah bukan kenyataan saat ini dan kita tidak hidup di masa lalu. Demikian juga masa depan; sesungguhnya kita tidak pernah tahu pasti apa yang kelak akan terjadi. Yang kita cemaskan kerap hanya bayangan diri kita sendiri, dan belum tentu terjadi.
Perasaan-perasaan negative seperti; amarah yang disertai dendam, kebencian dan kekecewaan yang terus dipelihara, ketidakpuasan terhadap apa yang ada lalu iri hati (hasad) dengan orang lain, juga bisa membuat kita terbelenggu. Ketika perasaan-perasaan negative itu menguasai, kita tidak saja akan kehilangan saat-saat menyenangkan dalam hidup ini, tetapi kita juga akan lelah sendiri.
Karena itu, untuk bisa mengalami kebebasan sejati, tidak ada cara lain; belajar memaafkan orang yang kita benci atau pernah membuat kita begitu marah, bukan untuk siapa-siapa tetapi untuk ketenangan dan kebahagiaan kita sendiri.
Dan yang paling penting adalah, belajarlah menikmati hidup dan bersyukur dengan apa yang ada. Tidak mudah memang, tetapi itulah yang kita lakukan. Sesuatu yang tidak kita harapkan (sesuatu yang negative/maksiat), kalau kita bisa ubah, ubahlah. Kalau tidak bisa kita ubah, minimal kita dan keluarga kita serta orang-orang dalam jangkauan kita tidak ikut-ikutan atau terjerumus ke sesuatu negative tersebut.
Hidup memang tidak selalu berjalan seperti yang kita harapkan…
0 komentar:
Posting Komentar