Beberapa bulan yang lalu –entah saya sudah lupa persisnya-, saya mengantar istri saya karena buah hati kami sedang sakit. Sementara menunggu, iseng-iseng saya berbicara dengan Pak Saiful, sebutlah demikian, tukang parkir Pak Dokter.
Kata Pak Saiful, Pak Dokter rumahnya banyak. Di daearah mana ia buka praktek saja ada tiga. Yang ditempati satu, yang lain kosong tidak terurus. Anak-anak Pak Dokter ada empat; dua diantaranya sudah berkeluarga dan punya pekerjaan sendiri-sendiri, dua orang lagi masih kuliah dan tinggal di rumahnya Pak Dokter yang ada di Malang. Belum lagi rumah yang ada di Pacet (baca; Villa). Belum lagi… saya tidak ingat apalagi kepunyaan Pak Dokter yang disebutkan Pak Saiful.
“Bapak sendiri tinggal dimana?”, tanya saya.
“Ooalah mas, saya masih ngontrak di dekat sini”, jawab tukang parkir tersebut.
Hidup memang penuh kontradiksi. Ada orang yang kelebihan sekali, ada orang yang kekurangan sekali. Ada orang yang kekeyangan sekali, ada orang yang kelaparan sekali. Ada orang yang kaya sekali, sampai-sampai ia sendiri mungkin tidak tahu mau dipakai untuk apa atau mau dikemanakan hartanya itu. Tetapi, ada juga orang yang miskin sekali, sampai-sampai uang recehan 100 dan 500 perak pun ia kejar mati-matian.
Untuk keluar dari kontradiksi tersebut diperlukan keseimbangan. Hendaklah orang yang kaya mengeluarkan zakatnya, infaqnya atau shodaqohnya kepada mereka yang tergolong fuqara’ wal masaakiin. Sehingga terjadi keseimbangan ; supaya yang lebih mau membagi kelebihannya kepada yang kurang, dan yang kurang mau menerima kelebihan yang lebih, sehingga baik yang lebih maupun yang kurang sama-sama cukup.
Andai saja semangat untuk cukup itu ada di hati setiap orang, saya percaya betul setengah persoalan di negeri ini bisa teratasi. Memang terlalu sulit untuk mengharapkan semua orang memiliki semangat untuk cukup. Tetapi barangkali kita bisa memulainya dari diri kita sendiri; membagi kelebiha kita kepada mereka yang kekurangan.
Dengan begitu, bisa jadi kita tidak membuat negeri ini menjadi lebih baik, tetapi paling tidak kita tidak memperburuknya.
Kata Pak Saiful, Pak Dokter rumahnya banyak. Di daearah mana ia buka praktek saja ada tiga. Yang ditempati satu, yang lain kosong tidak terurus. Anak-anak Pak Dokter ada empat; dua diantaranya sudah berkeluarga dan punya pekerjaan sendiri-sendiri, dua orang lagi masih kuliah dan tinggal di rumahnya Pak Dokter yang ada di Malang. Belum lagi rumah yang ada di Pacet (baca; Villa). Belum lagi… saya tidak ingat apalagi kepunyaan Pak Dokter yang disebutkan Pak Saiful.
“Bapak sendiri tinggal dimana?”, tanya saya.
“Ooalah mas, saya masih ngontrak di dekat sini”, jawab tukang parkir tersebut.
Hidup memang penuh kontradiksi. Ada orang yang kelebihan sekali, ada orang yang kekurangan sekali. Ada orang yang kekeyangan sekali, ada orang yang kelaparan sekali. Ada orang yang kaya sekali, sampai-sampai ia sendiri mungkin tidak tahu mau dipakai untuk apa atau mau dikemanakan hartanya itu. Tetapi, ada juga orang yang miskin sekali, sampai-sampai uang recehan 100 dan 500 perak pun ia kejar mati-matian.
Untuk keluar dari kontradiksi tersebut diperlukan keseimbangan. Hendaklah orang yang kaya mengeluarkan zakatnya, infaqnya atau shodaqohnya kepada mereka yang tergolong fuqara’ wal masaakiin. Sehingga terjadi keseimbangan ; supaya yang lebih mau membagi kelebihannya kepada yang kurang, dan yang kurang mau menerima kelebihan yang lebih, sehingga baik yang lebih maupun yang kurang sama-sama cukup.
Andai saja semangat untuk cukup itu ada di hati setiap orang, saya percaya betul setengah persoalan di negeri ini bisa teratasi. Memang terlalu sulit untuk mengharapkan semua orang memiliki semangat untuk cukup. Tetapi barangkali kita bisa memulainya dari diri kita sendiri; membagi kelebiha kita kepada mereka yang kekurangan.
Dengan begitu, bisa jadi kita tidak membuat negeri ini menjadi lebih baik, tetapi paling tidak kita tidak memperburuknya.
0 komentar:
Posting Komentar