Minggu, 22 Agustus 2010

Waktu untuk Bermanja

By: Anisatul Illiyin

Setiap aku pulang mengajar, si kecilku, Aza, punya cara tersendiri untuk menarik perhatianku agar, paling tidak, segera menyapanya terlebih dulu sebelum aku melakukan hal-hal lain. Misalnya ia akan menatapku dengan tatapan lucu khas seorang bayi atau ia akan buru-buru merangkak menghampiriku sambil mulut mungilnya berkata dengan gaya lucu, “mam, mam, mama…”. Tentu saja aku jadi tak tega untuk melewatkannya sejenak, bahkan untuk lebih dulu menyapa Mbak Min yang menjaganya setiap aku berangkat mengajar.

Bahkan bayi dua belas bulanku itu tampaknya sudah mengerti sekali kalau aku hanya punya ‘waktu terbatas’ untuknya. Setiap pagi sebelum aku berangkat atau saat aku sedang libur, ia akan dengan maksimal menggunakannya untuk menarik perhatianku dengan kemanjaan dan gaya bayinya yang lucu dan menggemaskan. Tak jarang, bila ia sedang kelewat manja dan nyaris tak mau ditinggal sedikitpun meski hanya untuk sekedar mencuci piring di dapur, ia akan menangis menjerit-jerit hanya untuk ‘urusan sepele’ seperti itu.

Anak kita memiliki pertalian jiwa dan darah dengan kita. Maka ia adalah bagian dari hidup kita. Ia butuh senantiasa dekat dengan kita, bahkan hingga saat ia dewasa kelak. Ia butuh menyatukan hati dan perasaannya dengan kita. Itulah sebabnya ia meminta sedikit saja waktu dari kita untuk tempatnya bermanja.

Bagi kita yang terbiasa sibuk dan bekerja sepanjang hari, mungkin sering menggunakan ungkapan ‘apologia’, yang penting kualitas dan bukan kuantitas. Atau kita lebih percaya dengan pola asuh ‘remote parenting’. Akupun tadinya demikian.

Bahwa kualitas nyaris tak bisa diwujudkan jika kuantitas yang ada pun tidak termanfaatkan secara optimal. Mana ada kualitas jika kita pulang ke rumah dalam keadaan capek dan masih harus mengerjakan sederet tugas rumah tangga lain, seperti memasak untuk makan malam, cuci piring, bebenah, dan hingga tetek bengek lain, yang membuat si kecil menjadi prioritas nomor sekian setelah tugas-tugas tersebut?

Bahwa remote parenting nyaris tak berbunyi apapun kecuali jika sebelumnya antara anak dan ibu telah terjalin ikatan yang cukup erat dalam rentang waktu yang bisa mereka lalui berdua. Dan, bahwa si kecil selalu bersangka baik pada setiap jenak kesibukan ibundanya tercinta, bahkan meskipun kesibukan itu membuatnya ‘dekat di mata tapi jauh di hati’ dengan sang ibunda.

Bukan berarti kita hanya harus melewatkan waktu bersama si kecil sepanjang waktu, tapi mungkin, cara pemanfaatannya yang harus dialokasikan sedemikian rupa sehingga tidak ada satupun yang terbengkalai. Masalahnya jika ini berkaitan dengan hak anak yang terampas, bukan mustahil suatu saat di masa depan ia akan tumbuh menjadi pribadi yang ‘tidak paripurna’ kematangannya.

Saya jadi ingat tulisan Darmanto Jatman dalam bukunya “Terima Kasih Indonesia” yang disusun bersama dengan Adriani S Soemantri. Ia berkata dalam salah satu tulisannya di buku tersebut, pendidikan anak kita laksana sebuah mosaik. Kita hanya merekatkan sepotong, nanti lingkungan yang akan membantu merekatkan yang lainnya pula hingga jadi sebuah mosaik yang indah.

Dan saya rasa meletakkan potongan-potongan mosaik ini perlu dilakukan secermat dan sehati-hati mungkin, karena begitu banyak unsur yang terkait di dalamnya. Demikian pula, kitalah yang akan sangat menentukan, potongan mosaik yang mana lagikah yang cocok bagi jiwa anak kita agar sempurna ia menjadi sebuah lukisan mosaik yang elok.

Maka, waktu untuk anak kita bermanja adalah juga saat yang tepat untuk merekatkan potongan mosaik itu agar kelak menjadilah ia generasi Robbani yang cerdas, shalih, berdaya guna, sehat, dan matang.

Mama ucapkan Met Ultah, ananda. Semoga menjadi anak yang sholih yang berbakti kepada orangtua, agama & bangsa. Amin, ya robbal ‘aalamiin…

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008