Kamis, 08 April 2010

Cahaya Mata

By. Anisatul Illiyin

Tataplah mata beningnya. Apa yang kau temukan di sana? Dengarlah celotehannya, apa yang kau rekam darinya? Lihatlah tingkah polahnya. Apa yang terlukis disana?

Syukur. Seharusnyalah hanya kata itu yang tepat dan pantas diungkapkan untuk menjelaskan segala rasa yang menggumpal di rongga dada ketika 'cahaya mata' menatap, tersenyum, tertawa bahkan 'berulah' dihadapan saya, umminya.

Bersyukurlah seharusnya karena ternyata sang cahaya mata tercipta dan terlahir sempurna. Tumbuh dan berkembang sempurna. Tengkurap, merangkak, merambat, berdiri, berjalan dan berlari, melompat bahkan rolling dengan sempurna.

Bersyukurlah seharusnya ketika usia 7,5 bulan bibir mungil itu mulai mengeja "aza, aza, aza" sembari menirukan orang disekitarnya. Terharu melihat usahanya mengucap kata demi kata, merangkai kalimat demi kalimat.

Bersyukurlah seharusnya kala jari-jari lentik itu melakukan kerja-kerja motorik halus dan kasar. Tiba-tiba ada rasa malu yang menjalar, ada rasa sesal yang mendalam mengingat reaksi yang saya lakukan ketika sang buah hati membuat ulah. Layar dihadapan saya terbentang lebar-lebar, menayangkan kaleidoskop kehidupan yang saya jalani dengan anak tercinta.

Ya Rabb, apa yang telah saya lakukan?

Kemana teori sabar yang pernah saya kaji bertahun silam? Bahwa ummi adalah madrasatul aulad. Ummi adalah tempat pertama dan utama anak berguru dalam hidup ini. Alangkah mudahnya berkata-kata, alangkah tak ringannya mengamalkan kata-kata.

Saya membayangkan, sekiranya Allah memberikan umur panjang, lalu saya renta, ringkih dan tak berdaya. Masa kanak-kanak saya berulang di usia senja lalu saya berbuat 'ulah', perlakuan apa yang ingin saya dapatkan dari anak saya kelak?

Saya bayangkan sekiranya anak saya marah, kesal, jengkel dan berwajah masam ketika menyuapi saya, ketika membasuh najis saya disebabkan saya telah lemah, tak dapat lagi melakukan sendiri pekerjaan-pekerjaan itu. Sakit hati, bukan?

Anak adalah nikmat sekaligus ujian yang Allah curahkan pada saya. Sungguh tak pantas membalas nikmat dengan maksiat.

"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"

Maka, seharusnyalah saya hamparkan kesabaran seluas semesta karena saya tengah mendidik calon khalifah. Yang tidak hanya akan mengasuh saya di hari tua kelak tapi juga mengasuh dan memelihara umat manusia untuk taat pada-Nya.

Maka, saya tatap mata beningnya. Lalu saya temukan syukur yang tak terkira atas segala nikmat-Nya.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008