Jumat, 12 Maret 2010

Teknologi Kelautan

Adalah Umar Bin Khattab yang memutuskan membangun armada muslim demi menghadapi Romawi. Romawi memiliki jajahan-jajahan di seberang lautan seperti Afrika Utara dan Timur Tengah. Mencapai negeri-negeri itu lewat darat sangat tidak efisien. Karena itu, untuk mematahkan Romawi, kaum muslim harus membangun angkatan laut yang tangguh.

Suatu angkatan laut terbangun dari beberapa bagian. Ada pelaut yang mengoperasikan kapal. Ada marinir yang akan diturunkan dari kapal untuk masuk ke daratan dan bertempur menaklukkan sebuah wilayah. Ada navigator yang memberi orientasi dimana posisi kapal berada dan kemana mereka harus menuju. Ada petugas isyarat yang melakukan komunikasi ke segala pihak yang dianggap perlu baik di laut maupun di darat. Ada teknisi mekanik yang menjaga agar kapal tetap berfungsi. Ada bagian logistic yang menjamin bahwa kapal tetap memiliki kemampuan dayung atau layar yang cukup. Kalau sekarang berarti pasokan bahan bakar, makanan dan air tawar. Dan ada bagian administrasi yang menjaga agar seluruh perbekalan di laut tertata dan digunakan secara optimal. Seluruh hal-hal diatas telah dan tetap dipelajari di semua akademi angkatan laut dari zaman Romawi hingga kini.

Ketika angkatan laut muslim pertama dibangun, modal pertamanya jelas keimanan. Mereka termotivasi oleh berbagai seruan Al-Qur’an ataupun Hadist Rasulullah, bahwa kaum muslim adalah umat terbaik dan bahwa sebaik-baik pasukan adalah yang masuk Konstantinopel atau Roma. Motivasi awal inilah yang menjaga semangat mereka untuk mempelajari dan mengembangkan berbagai teknologi kelautan yang dibutuhkan.

Maka sebagian muslim pergi ke Mesir untuk belajar astronomi. Mereka mengkaji kitab Almagest karangan Ptolomeus agar dapat mengetahui posisi lintang bujur suatu tempat hanya dengan membaca jam dan mengukur sudut tinggi matahari, bulan atau bintang. Ada juga yang pergi ke Cina untuk belajar membuat kompas. Sebagian lagi mempelajari buku-buku Euclides Sang Geografer Yunani untuk dapat menggambar peta. Jadilah mereka (kaum muslimin) menjadi orang-orang yang dapat menentukan posisi dan arah di lautan.

Kemudian, pembuatan kapal menjadi industri besar di negeri-negeri Islam, baik dalam konstruksi kapal dagang maupun kapal perang. Selain galangan kapal utama, terdapat galangan-galangan pribadi di pinggir sungai-sungai besar dan di sepanjang pantai di daerah Teluk dan Laut Merah. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik yang kecil hingga kapal dagang besar dengan kapasitas lebih dari 1000 ton dan kapal perang yang mampu menampung 1500 orang. Al-Muqaddasi menulis pada abad 10 M, bahwa ada beberapa lusin kapal buatan kaum muslim, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya.

Semua kapal muslim mencerminkan karakteristik tertentu. Kapal dagang biasanya berupa kapal layar dengan rentangan yang lebar relatif terhadap anjangnya untuk memberi ruang penyimpanan (cargo) yang lapang. Kapal perang agak lebih ramping dan menggunakan dayung atau layar tergantung fungsinya. Semua kapal dan perahu itu dibangun dengan bentuk papan luar rata (carvel-built), yaitu kayu-kayu diikatkan satu sama linin pada sisi-sisinya, tidak saling menindih sebagaimana lazimnya kapal dengan bangun berkampuh (clinker-built) di Eropa Utara. Kemudian kayu-kayu itu didempul dengan aspel atau ter. Tali untuk menambatkan kapal dan tali jangkar terbuat dari bahan rami, sedangkan salah satu pembeda dari kapal-kapal muslim adalah layar lateen yang dipasangkan pada sebuah tiang berat dan digantung dengan membentuk sudut terhadap tiang kapal. Layar lateen tidak mudah ditangani, tetapi jika telah dikuasai dengan baik, layar ini memungkinkan kapal berlayar lebih lincah daripada layar persegi. Dengan demikian kapal muslim tidak terlalu banyak mensyaratkan rute memutar saat menghindari karang atau badai, sehingga total perjalanan lebih singkat.

Begitu banyaknya kapal perang yang dibangun kaum muslim di Laut Timur Tengah, sehingga kata arab untuk galangan kapal “daar al-sinaa’i” menjadi kosakata bahasa Eropa, arsenal. Perhatian para penguasa muslim atas teknologi kelautan juga sangat tinggi. Sebagai contoh, Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1170 M) membuat elemen-elemen kapal di galangan kapal Mesir, lalu membawanya dengan otna ke pantai Syria untuk dirakit. Dermaga perakitan kapal ini terus beroperasi untuk memasok kapal-kapal dalam pertempuran melawan pasukan salib.

Uji kualitas atas bahan-bahan pembuat kapal seperti kayu sant (acacia nitolica), juga rami untuk bahan tali dan tekstil terpal untuk layar, dilakukan dengan ketat agar kapal yang dihasilkan juga bermutu tinggi.

Disisi lain, para pujangga menulis kisah-kisah para pelaut menawan, seperti hikayat Sinbad yang populer di masyarakat. Diluar sisi-sisi magis yang sesungguhnya hanya bumbu cerita, kisah itu mampu menggambarkan kehidupan pelaut secara riil sehingga menarik jutaan pemuda untuk terjun ke dalam berbagai profesi yang terkait kelautan.

Tanpa teknologi kelautan yang handal, mustahil Daulah Islam yang sangat luas itu mampu terhubungkan secara efektif, mampu berbagi sumber daya secara adil, dan terus memperluas cakupan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia, termasuk hingga ke bumi nusantara ini. Dengan teknologi kelautan yang handal, Daulah Islam mampu bertahan beberapa abad sebagai negara adidaya di masa lampau.


-dari berbagai sumber-

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008