Senin, 29 Maret 2010

Kita Harus Lebih Siap

By. Anisatul Illiyin

Sepulang kerja, rasa lelah dan jenuh terasa menghilang ketika kita kembali dapat bermain-main dengan anak di rumah. Herannya, kelelahan dan kejenuhan adalah dua hal yang selalu dilawan ketika ingin beranjak menuju tempat kerja, terus menerus membelenggu setiap hari, tetapi ketika pulang ke rumah belenggu itu terasa lenyap dalam sekejap. Dan tawa anak mampu meredamnya dalam waktu yang sangat singkat.

Entah, ini disebut dengan istilah apa. Cinta, kerinduan atau kasih sayang orang tua kepada anaknya. Apalagi melihat anak tumbuh sehat dan ceria, membuat hati seperti dibelai-belai karena Allah telah berbaik hati dan memberikan rahmat-Nya dengan mengirim malaikat kecil yang ceria, yang mampu mengobati rasa lelah sepulang kerja. Terbayang bagaimana jika kita tidak memiliki anak; sunyi, sepi, senyap, tidak ada keceriaan.

Kita mungkin menganggap bahwa anak adalah milik kita sepenuhnya dan lupa bahwa sebenarnya anak lahir karena Allah SWT menitipkannya kepada kita. Lalu bagaimana jika Dia ingin mengambilnya? Toh, Dia hanya menitipkan kepada kita, sudah sewajarnya Dia mengambil kembali apa yang dititipkan-Nya. Melawan? Rasanya tidak mungkin. Diri kitapun dititipkan di dunia oleh-Nya, juga akan segera diambil-Nya. Bagaimana mungkin melawan-Nya.

Ketakutan akan kehilangan menjalar seperti kuman yang menyerang ke seluruh tubuh. Terkadang mampu kita lawan, terkadang kita tidak bisa melawannya. Bahkan ketika kita akan beranjak menuju tempat kerja kembali di esok harinya, muncul lagi pertanyaan, "Akankah sore hari ini, menemukan kembali keceriaan bersama anak?" Rasanya perasaan tidak siap menyergap terus menerus, setiap jam, setiap detik. Kita sangat tidak siap bila sewaktu-waktu pemilik-Nya mengambil kembali titipannya. Sungguh sangat tidak siap kehilangan keceriaan yang dihadirkan dari tingkah anak kita yang lucu.

Di saat-saat yang hening, saat terjaga menjelang pagi hari, kita merenungi kembali ketidaksiapan tersebut, sambil membuka-buka ayat-ayat-Nya. Dan kita dapati sebuah ayat tentang cinta kepada anak yang sering membelenggu manusia sehingga mengganggu jalannya proses menuju kepada-Nya. Kita seperti merasa Allah Azza wa Jalla merampas hak milik kita, padahal jauh-jauh hari kita telah diperingatkan-Nya untuk tidak mencintai sesuatu yang tidak abadi, termasuk anak-anak kita sendiri.

Diri kita kembali tenang dan mendapat kembali kebahagian bersama anak-anak seperti biasanya. Bedanya sekarang kita lebih mengerti bagaimana menempatkan cinta dalam bingkai yang sebenarnya. Sehingga kalau malaikat-malaikat kecil kita diambil oleh-Nya, maka kita harus lebih siap menghadapinya. Bahkan mungkin besok, anak kita, istri atau suami kita atau bahkan diri kita mendapat gilirannya. Kita harus lebih siap.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008