Rabu, 31 Maret 2010

Bila Lelah, Bicaralah Dengannya

Pernahkah mendapati kondisi di mana fisik terasa amat lelah dan penat, sebab menumpuknya pekerjaan di kantor bahkan pulang ke rumah dalam keadaan masih 'berhutang' untuk keesokan harinya? Seringkali secara psikologis, kepenatan itu pun terbawa. Berbagai masalah yang memenuhi kepala seperti ingin dimuntahkan saja dan habis seketika. Namun tentu saja itu mustahil. Setidaknya, berbicara dengan seseorang mengenai perasaan dan permasalahan yang sedang dihadapi, sedikitnya akan mengurangi beban yang menghimpit itu.

Bisa dibedakan, keletihan yang dialami oleh seorang laki-laki dan perempuan. Bagi seorang ibu rumah tangga, kesibukan mengurusi tetek-bengek urusan rumah: dari mulai pekerjaan menata rumah serapi mungkin, menjaga anak-anak, melayani suami, dan sebagainya, tentu tak mudah dan pasti akan meninggalkan kelelahan yang tak habis. Bagi mereka yang bekerja di kantor dan memiliki segudang aktivitas lain, tentu akan memiliki tingkat kelelahan yang juga berbeda, sulit untuk disamakan dengan profesi sebagai seorang "house wife". Masing-masing memiliki kesan tersendiri. Tidak bisa ada yang dilebihkan atau dikurangkan dari yang lainnya. Masing-masing menghasilkan kondisi fisik dan psikologis yang berbeda.

Seorang lelaki, bagaimanapun, tak kalah letihnya menghabiskan hari berkutat dengan pekerjaan mencari nafkah, di manapun. Bayangkan saja, seorang laki-laki yang telah berkeluarga, pastinya memiliki semangat sekaligus beban tersendiri saat melewati harinya bersama kelelahan di tempat kerja. Entah target yang diraih, entah penikmatan akan tugas yang sedang dikerjakan, entah obsesi yang sedang dikejar, entah apalagi.

Keletihan itu, bila terjadi dan dialami bersamaan oleh sepasang suami-istri, tentunya terasa tidak menyenangkan. Apabila keduanya berpisah dan bertemu kembali di rumah, menghadapi kondisi pasangan yang sama letihnya, atau bahkan lebih dari diri kita, tentu akan menjadi tumpukan keletihan selanjutnya yang kita rasakan. Terkadang malah hal tersebut akan memicu emosi yang tidak perlu untuk diumbar. Tak heran, kerap kali pertengkaran dalam rumah tangga terjadi akibat hal-hal kecil yang dibesar-besarkan. Salah satu penyebabnya adalah kondisi fisik dan psikologis pasangan yang sedang tidak baik. Pengelolaan agar ia tak berkembang menjadi alat picu sikap emosional terhadap pasangan atau anggota keluarga lain di rumah, memerlukan sebuah kecerdasan dan keterampilan tersendiri.

Komunikasi, ternyata memainkan peranan yang cukup penting. Beban menghimpit itu akan terkurangi penatnya bila berhasil dikomunikasikan. Namun seringkali, diri kita merasa 'tidak ada waktu', 'malas', dan bahkan 'enggan' untuk mengkomunikasikan apa yang sedang kita rasakan. Bahkan kepada pasangan kita sendiri. Padahal, mengetahui apa yang dirasakan oleh pasangan adalah salah satu alat latih bagi diri kita untuk berempati. Merasakan apa yang sedang dirasakan oleh pasangan. Bukan tidak mungkin, keletihan yang sedang dirasakan memuncak, akan berganti menjadi semangat baru untuk menyenangkan hati pasangan sebab adanya keinginan untuk tak lagi melihatnya tenggelam dalam kelelahannya.

Bisa jadi, malam hari yang biasanya dilewati dengan gumpalan kekesalan akibat rasa penat yang tak tersalurkan, dengan sedikit meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan pasangan tercinta, pagi hari akan terasa lebih ringan sebab beban yang tadinya menghimpit akan berkurang. Disadari atau tidak, perbincangan ringan disertai sedikit senda gurau dan melihat senyuman pasangan, akan memberikan energi tersendiri untuk memulai esok hari. Seberapapun lelah yang dirasa, tak ada kerugian bila kita luangkan sedikit lagi waktu untuk berkomunikasi dengan pasangan. Nyatakan dan ceritakan apa yang sedang dirasakan saat itu, dan bagilah rasa itu dengannya.

Letih dan penat itu, niscaya berganti cinta. Tambahan energi baru untuk memulai hari yang baru.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008