Kamis, 11 Februari 2010

Maulid Nabi; Sebagai Ungkapan Bahasa Cinta

Ya Nabi salam alaika……
Ya Rasul salam alaika……
Ya Habib salam alaika……
Sholawatulloh alaika………

Setiap bulan Rabiul Awwal, atau orang Jawa menyebutnya Bulan Mulud, diperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. Berbagai bentuk perayaan Muludan dilakukan seluruh elemen masyarakat. Tidak hanya terbatas di Masjid atau Musholla. Peringatan ini juga dilaksanakan di lapangan-lapangan, pendopo desa atau bahkan di rumah-rumah penduduk.

Di Kraton Yogyakarta, Peringatan Maulid Nabi lebih dikenal dengan nama Sekaten. Sebutan ini sebenarnya berasal dari bahasa arab yakni Syahadatain yang berarti dua kalimah syahadah. Logat Jawa yang menyebabkan perubahan pengucapan menjadi Sekaten. Acara Sekaten di Yogyakarta ini adalah bentuk ungkapan bahasa cinta kepada Rasulullah Saw.

Pada umumnya, Perayaan Maulid Nabi dilakukan dengan membaca Maulid Diba, Maulid Barzanji, Maulid Simthud Dhurror atau pujian-pujian yang lainnya. Pembacaan ini umumnya dilakukan di Masjid atau Musholla secara berjama'ah dipimpin seorang Kyai atau Pemuka Agama. Dan di akhir acara, biasanya dibagikan makanan atau orang Jawa menyebutnya berkat.

Selain itu juga diselingi ceramah agama sebagai siraman rohani bagi jama'ah yang ada. Ceramah agama atau mauidhoh hasanah dari Kyai atau Habaib inilah yang sangat diharapkan mampu menterjemahkan bagaimana kewajiban kita sebagai umat Rasulullah Saw. Bagaimana kita meneladani akhlak mulia beliau, perjuangan beliau serta menjalankan syari'at yang beliau sampaikan.

Di lembaga seperti sekolah, yayasan atau pondok pesantren, peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw biasanya dilaksanakan dengan rangkaian acara seperti lomba-lomba yang bernafaskan islami. Seperti lomba sholawat, qiro'at, puisi islami dan lain sebagainya. Momen Maulid Nabi Saw benar-benar menjadi momen yang tepat untuk bisa lebih mengenalkan Islam seutuhnya kepada generasi yang lebih muda.

Lalu bagaimana halnya jika peringatan Maulid Nabi Saw ternyata hanya dijadikan acara foya-foya, hura-hura, dan bahkan terkesan ada persaingan mewah-mewahan? Mungkin terlintas dalam benak kita agak aneh jika Peringatan Maulid Nabi Saw dijadikan ajang seperti itu. Tapi itulah yang terjadi di dalam masyarakat kita. Sebut saja desa Kebotohan, Pacarkeling yang terletak sekitar sebelas kilometer arah selatan dari kota Pasuruan.

Setiap tanggal sebelas Rabi'ul Awwal di berbagai tempat di wilayah tersebut tampak beberapa rumah dihias dengan berbagai hiasan. Tampak pula beberapa orang yang tengah menghias sebuah rangkaian buah-buahan yang dibentuk menyerupai sajian yang biasa di larung di lautan. Juga biasa disediakan nasi tumpeng untuk dibagikan dan dimakan bersama seusai acara. Ada pula yang gantungan-gantungan dihalaman rumah penduduk. Uniknya benda yang digantung tidak hanya bunga dan balon, juga barang-barang lain seperti sarung, baju, mainan, kopyah, sandal, bola bahkan ada yang tidak pantas dipajang yaitu pakaian dalam anak-anak dan orang dewasa. Ditempat yang lain ada sajian yang dirancang menjadi pohon pinang, atau dibentuk sebuah balon raksasa yang diletakkan diatas sebuah penyangga dari bambu. Kemudian balon tersebut ditempeli uang kertas mulai seribu rupiah hingga lima puluh ribu rupiah.

Selain barang-barang yang diperebutkan tadi, setiap orang yang mengadakan Muludan biasanya menyediakan sound system yang lumayan besar. Anehnya, sebelum acara dimulai bukan lagu-lagu islami yang diputar melainkan lagu dangdut, India dan musik-musik lainnya yang sebenarnya tidak pantas untuk acara Maulid Nabi Saw.

Menjelang Maghrib, semua sajian tersebut sudah disiapkan. Setelah sholat maghrib usai, masyarakat mulai melaksanakan acara Muludan dari rumah ke rumah. Seperti sudah terjadwal, acara Muludan dilaksanakan bergiliran dari rumah ke rumah.. Anehnya, setiap satu majlis peringatan Maulid Nabi Saw dilaksanakan tidak kurang dari lima belas menit bahkan ada yang kurang dari itu. Dalam kurun waktu antara Maghrib dan Isya' bisa dilaksanakan enam hingga sepuluh majlis. Pembacaan Maulid Diba diambil satu atau dua bacaan saja. Itupun hanya satu orang yang ditugasi membaca, sementara yang lain cukup bengong dan sambil menunggu serta mencari kesempatan untuk berebut berkat.

Dan ketika masuk Mahallul Qiyam, serentak hadirin menyerbu sajian yang ada. Berebut benda yang sebelumnya sudah diincar. Tidak ada aturan, siapa yang cepat dia yang dapat. Tidak hanya di rumah atau halaman rumah warga, di Masjid pun mereka melakukan hal demikian. Meski berulang kali Pak Kyai di tempat tersebut memperingatkan agar berkat yang ada tidak lagi diperebutkan seperti itu. Lebih baik dibagi rata kepada semua hadirin.

Tradisi ini berjalan tiap tahun hingga saat ini. Tidak ada yang tahu kapan tradisi ini dimulai dan siapa pelopornya. Ada seorang warga ngomel dan bermuka sinis menyindir; "Bagaimana Rasulullah Saw bisa hadir jika caranya dilakukan seperti ini?"

Mungkin, Beliau tersenyum menyaksikan bentuk ungkapan cinta umatnya. Semoga apapun bahasa cinta yang kita ungkapkan, Beliau berkenan menerima dan mencurahkan syafaat kepada kita, Amin…


NB: Artikel ini pernah dimuat dalam Bulletin Asy-Syabaab edisi IX LDK UIN Malang

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008