Senin, 11 Januari 2010

Rintihan Abu Nawas

Guru ngaji saya dulu, kalau memberi ceramah sering sekali mengutip humor-humor laki-laki yang hidup di zaman khalifah Harun al-Rasyid itu. Beberapa yang masih terngiang di telinga dan otak saya adalah:

Suatu hari karena melakukan kesalahan, Abu Nawas akan dihukum oleh khalifah Harun al-Rasyid. Tapi sebelum dihukum, pria ini dengan lihai berkata pada sang khalifah., "Khalifah, saya mau dihukum, asal khalifah bisa buang hajat tanpa kencing." Tentu ini hanya akal-akalan pria itu saja. Sebab siapa sih yang bisa buang hajat tanpa kencing?

Abu Nawas, untuk sebagian orang, memang identik dengan humor, kelucuan, kecerdikan dan akal-akalan. Hingga sering ketika saya berkumpul dengan teman-teman, kalau ada yang mencoba untuk melucu atau melawak, ia akan mendapat julukan Abu Nawas.

Namun, tak selamanya seseorang akan tenggelam dalam hal kelucuan dan membuat banyak orang tertawa. Termasuk Abu Nawas sendiri. Ada saat di mana ia ber-muhasabah diri. Ada saat dimana ia harus merintih. Maka lahirlah syair legendaris yang sering diberi judul oleh banyak orang dengan “Al-I’tiraaf”. Sebuah pernyataan diri bahwa mahluk yang bernama manusia itu tidak lepas dari dosa dan kesalahan. Dan saya yakin syair ini bukan akal-akalan, tapi sebuah keseriusan.

Ya Tuhanku, tidak pantas bagiku menjadi penghuni surga-Mu
Namun aku tidak kuat dengan panasnya api neraka-Mu
Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku

Dosaku ibarat jumlah pasir yang tak terhitung jumlahnya
Terimalah taubatku, karena Engkau maha pengampun dosa-dosa besar

Wahai pemilik keagungan, umurku setiap hari berkurang sedang dosa-dosaku makin bertambah. Bagaimana aku menanggungnya, ya Tuhanku

Ya Tuhanku, hamba yang berdosa ini datang kepada-Mu
Mengakui dosa-dosaku dan telah memohon pada-Mu

Seandainya Engkau mengampuni, memang Engkaulah pemilik ampunan
Dan seandainya menolak taubatku, kepada siapa lagi aku memohon ampunan selain kepada-Mu?


Saya akrab sekali dengan doa yang berbentuk syair ini. Ketika saya kecil, kakek saya kalau mau menidurkan saya, selalu melantunkan syair ini. Sehingga secara otomatis saya jadi sangat hafal. Dan rupanya, sekarang ini, kelompok nasyid baik yang tradisional maupun modern, seperti masih kurang kalau tidak melantunkan syair legendaris ini. Dari kelompok hadrah kampung saya, jam'iyyah shalawat di pesantren-pesantren, Haddad Alwi, Kyai Kanjeng sampai Cat Steven yang berkolaborasi dengan grup nasyid kondang dari Malaysia, Raihan.

Memang, rintihan Abu Nawas itu pada hakekatnya adalah tangisan kita semua di zaman ini. Abu Nawas hidup berabad-abad yang lalu. Hidup di zaman di mana teknologi informasi belum secanggih sekarang ini. Sedang kita ini hidup di zaman yang semua serba canggih. Sehingga untuk berbuat dosapun kita bisa lebih canggih lagi.

Sehingga, ketika kita mendengar rintihan Abu Nawas itu, hati ini ingin menangis. Bukan karena cengeng. Sebab tidak selamanya sebuah tangisan mengekspresikan ke-cengeng-an. Tapi menangis karena entah seberapa layak kita untuk memasuki syurga-Nya.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008