Kamis, 14 Januari 2010

Beli Aja, Kasihan...

"Nak... coba lihat, itu yang di depan menawarkan apa...?" Umi (Ibu Mertua) meminta saya untuk memeriksa ketika terdengar seseorang menjajakan sesuatu di depan ruko. Saya pun segera beranjak ke depan, lalu bertanya kepada si bapak di depan, apa yang dijualnya. Setelah itu kembali ke dalam rumah.

"'Mi... Bapak itu menawarkan tahu sumedang."

"Oh, si Bapak itu... Beli tiga bungkus," kata Umi. Umi sepertinya sudah hapal dengan si bapak penjual itu.

"Mi, sepengatahuan saya, umi setiap hari beli ke bapak itu," ujar saya.

"Beli aja, Nak, kasihan... Si Bapak sedang panas terik begini ke sana ke mari menawar-nawarkan dagangannya. Mungkin belum ada yang beli..."

Akhirnya meskipun saya masih bertanya-tanya dengan cara berpikir Umi, saya pun ke depan lagi dan membeli tiga bungkus tahu sumedang itu seperti yang Umi minta. Umi juga sempat ke depan dan menyapa si bapak penjual, sambil menawarkan air mineral untuk minum. Bapak penjual itu berterima kasih, tapi dia memilih segera pergi untuk kembali menjajakan tahu sumedangnya.

Kejadian di atas tertanam kuat pada benak saya. Perlu beberapa saat untuk menyerap dan memahami dorongan kejiwaan apa yang ada di lubuk hati Umi, untuk membeli barang yang sebetulnya tidak dibutuhkannya. Pembelian yang semata didasarkan pada rasa iba kepada penjual itu.

Saya pernah mendengar Umi di masa kanak-kanaknya mesti membantu Mbah Lanang & Wadhon (panggilan saya kepada Kakek dan Nenek yang sekarang sudah tiada) dengan berjualan. Barangkali tempaan kehidupan seperti itu, termasuk bagian yang membentuk jiwa yang lembut menyayangi orang lain.

Ah... saya jadi malu. Mungkin secara keilmuan saya lebih tahu dan tinggi daripada Umi tentang arti al-itsar (mendahulukan orang lain daripada diri sendiri). Satu kondisi puncak seseorang dalam membuktikan persaudaraan dalam keimanan; Barangkali saya lebih tahu juga sifat Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan tak pernah menolak seseorang yang meminta sesuatu kepada beliau. Kalau perlu beliau membantu dengan meminjam dahulu kepada orang lain.

Barangkali juga saya lebih hafal ayat "dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran jiwanya, maka merekalah orang-orang yang beruntung" (QS. al-Hasyr:9). Akan tetapi hikmah itu rupanya lebih dahulu dimiliki Umi. Ah... ternyata rasionalitas yang ada di kepala saya amat tipis perbedaannya dengan sikap tidak ber-empati kepada orang lain.

Dan sekarang saya masih terus mendidik jiwa untuk semakin meresapi indahnya bersikap dermawan. Sikap ini juga yang coba saya bagi kepada isteri. Atau mungkin, malah isteri saya yang lebih dahulu menangkap hikmah ini.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008