Rabu, 16 Desember 2009

Seikhlas Kelapa Tua

Kelapa tua. Semua orang kenal dengan buah ini. Namun begitu, keberadaannya tidak dipedulikan dan diindahkan orang. Kelapa tua jarang (baca: tidak pernah) menjadi topik pembicaraan. Tidak pernah dikaitkan dengan isu atau masalah-masalah aktual saat ini. Kelapa tua juga tidak pernah susah hati kalau orang tidak mempedulikannya. Dia hanya bergantung diatas pohon dan terayun-ayun bila ditiup angin.

Tapi, lihatlah ketika kelapa tua itu tergantung diatas pohonnya yang tinggi, tiba-tiba datanglah orang menjoloknya dengan galah yang panjang. Beberapa kali galah dijolokkan, maka jatuhlah kelapa tua itu berputar-putar ke bumi. Jatuhnya itu tidaklah rendah. Tidak hanya 5 atau 10 kaki, tapi sampai 30 hingga 40 kaki. Bunyinya berdentum sampai ke tanah. Waduh, kalau buah sembarangan, bisa hancur berantakan.

Masalah kelapa tua ini tidak berhenti disitu saja. Ini baru muqoddimahnya. Dia diambil dan kulitnya dikoyak-koyak dan dibuang sedikit demi sedikit dengan parang atau kapak. Proses ini tidaklah sekali saja, namun berkali-kali hingga ratusan kali. Tersiksanya tidak bisa kita bayangkan. Awalnya sakit tusukan, setelah itu sakit dikoyak-koyak dan disayat- sayat. Ini berkelanjutan sampai tinggal tempurungnya saja.

Ketika sudah sampai ke tempurung, maka tidak apalah. Cantik juga rupanya. Keras dan bulat bentuknya. Tapi derita kelapa tua tidak berhenti disitu, tempurung yang bulat dan keras dipecahkan dengan parang dengan sebegitu kuatnya hingga terbelah dua di tengah-tengahnya. Maka tersembur dan mengalirlah air jernih dari dalam perutnya dan terbukalah isinya yang putih bersih.

Bagi kelapa, siksaan ini barulah permulaan. Tidak cukup hanya itu, isinya yang putih bersih itu dipisahkan dari tempurung, diparut hingga menjadi lumat. Tempurungnya dibuang. Kadang-kadang dibakar. Bentuk kelapa tua itu sudah tidak ada lagi. Yang tinggal hanyalah isinya yang sudah lumat diparut.

Untuk menambah siksaan lagi, dituang air kedalam isi parut itu. Diremas-remas dan diperah-perah. Alangkah tersiksanya. Kalau diibaratkan manusia, ini sudah keluar batas-batas perikemanusiaan. Kemudian ia disaring menjadi santan. Kelapa tua yang dulunya keras dan bulat, kini sudah menjadi cairan putih yang disebut santan.

Setelah itu minyak dipanaskan dalam wajan. Bawang merah, rempah-rempah dan bumbu-bumbu yang lain ditumis bersama daging kambing. Ketika sudah cukup kuning, dituangkanlah santan tadi kedalam wajan. Maka kepanasanlah santan itu hingga mendidih.

Ketika sudah masak dan bau harumnya menyebar keseluruh rumah, maka orangpun bertanya; “Gulai apa itu? Sedap sekali baunya?”, orang di dapur pun hanya menjawab; “Gulai Kambing”.

Gulai yang mendapat nama. Kambing juga mendapat nama. Kemudian orang berkata; “Waw, enak sekali gulai ini”. Orang yang lain pun berkomentar; “Wah, empuk sekali daging kambingnya”.

Masya Allah, jasa kelapa tua tenggelam begitu saja. Perjalanannya dan pengalamannya yang begitu panjang dan sangat membuatnya tersiksa dari sebuah kelapa tua diatas pohon yang tinggi hingga ke wajan yang begitu panas, tidak ada siapapun yang memperhatikan dan mempedulikannya.

Alangkah indahnya kalau kita dapat berjasa seperti kelapa tua ini. Jasa-jasa bukan untuk dipuji dan dipuja. Bukan untuk dikenang atau mendapat nama, tetapi untuk ta’abbud kepada Allah Azza wa Jalla. Biarlah jasa-jasa kita tidak tampak di mata manusia, tetapi ada dalam perhatian Allah SWT.

-dari berbagai sumber-

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008