Selasa, 29 Desember 2009

Poligami = Tidak Setia

Ada banyak jawaban untuk pertanyaan diatas. Kaum perempuan biasanya menjawab “YA”, sedangkan laki-laki menjawab “TIDAK”. Terlihat bahwa mereka menjawab menurut kecenderungan perasaan serta kepentingan masing-masing.

Setelah saya mengkaji & menelaah beberapa referensi (baik buku maupun keadaan riil); jawaban “TIDAK” adalah dasar sebenarnya. Jika mempunyai istri kedua merupakan ketidaksetiaan suami terhadap istri pertama, tentulah Islam tidak membolehkan poligami. Islam tidak mensyariatkan hal-hal yang melanggar norma-norma kemanusiaan dan akhlak mulia. Padahal setia (al-Wala') merupakan sikap dan akhlak mulia dalam Islam.

Dalam sejarah hidupnya, junjungan kita Rasulullah saw pun berpoligami. Apakah dengan begitu kita menafikan kesetiaan Baginda Nabi padahal dari dirinyalah segala etika dan akhlak dibangun dan menjadi panutan kita? Begitu juga yang dilakukan para sahabat dan tabi’in dalam hal poligami. Apakah kita lantas akan menuduh mereka tidak setia sementara mereka adalah orang-orang terbaik sepanjang abad?

Benar bahwa Ali Bin Abi Thalib kw ketika berniat menikah lagi, maka Rasulullah melarangnya. Namun ini sebenarnya kurang tepat dijadikan argumentasi. Siapapun yang membaca sejarah serta mencermati sebab musabab dibelakang kejadian ini, pasti mengetahui bahwa hal ini tidak ada hubungannya dengan kesetiaan serta poligami.

Rasulullah melarang Ali karena saat itu Ali hendak menikahi anak Abu Jahal. Sabda Rasulullah; “Janganlah engkau satukan putri Rasulullah dengan anak perempuan musuh Allah dalam satu rumah”.

Ada dua pertimbangan penting yang membuat larangan itu muncul, yaitu:
1.Pernikahan ini sebenarnya merupakan tipu muslihat untuk merusak rumah tangga Ali dan Fathimah dengan anak perempuannya Abu Jahal.

2.Diriwayatkan pula bahwa dibalik rencana pernikahan ini terdapat rekayasa yang telah diatur sedemikian rupa oleh sekumpulan wanita untuk menjebak Ali kw.

Jadi, pada dasarnya hal diatas tidak ada kaitannya dengan kesetiaan, melainkan perhitungan serta pertimbangan antara kebaikan dan keburukannya.

Bahkan yang mengejutkan, ternyata salah satu wasiat Fathimah sebelum meninggal kepada suaminya Ali, adalah agar menikahi Umamah ra, putri saudara perempuannya Zainab ra. Ali pun menikahinya tujuh hari setelah meninggalnya Fathimah.

Jawaban “YA” pun bisa jadi benar. Yaitu manakala suami harta pribadi istri atau tempat tinggalnya, sementara istri pertama telah memiliki andil dalam dalam pengadaan tempat tinggal tersebut dan ikut serta mengisinya dengan perabot-perabot rumah tangga dengan hartanya. Akan tetapi bila istri pertama ridha kepada istri kedua untuk tinggal bersamanya itu dibolehkan dan tidak menjadi masalah dalam Islam.

Termasuk sikap tidak setia adalah jika suami pernah berjanji tidak akan menikah lagi namun kemudian ternyata ingkar. Atau seorang perempuan muslimah mengajukan syarat kepada calon suaminya ketika mengkhitbahnya agar tidak dimadu, namun boleh menikah lagi ketika si istrinya sudah meninggal dunia. Hal ini dibolehkan dalam Islam. Dan tentunya, si calon suami harus setia (dalam menepati janji) kepada istrinya tentang hal ini.

Saya sangat kagum dengan Abuya Ashaari Muhammad At-Tamimi dari Malaysia, beliau memiliki istri empat dengan anak sebanyak 34 orang serta cucu sekitar 200-an anak. Kehidupan rumah tangga beliau rukun-rukun saja satu sama lainnya dan saling dukung-mendukung dalam “ta'aawanu 'alal birri wat taqwa”. Beliau & keluarganya; sepantasnya-lah menjadi suri tauladan dalam hal Poligami di zaman ini.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008