Selasa, 29 Desember 2009

Permata Ayah Bunda

Anak. Rasanya hampir tiap-tiap pasangan suami istri selalu menanti-nanti kehadiran anak di tengah-tengah mereka. Bagi mereka yang belum punya anak, tidak peduli anak laki-laki atau anak perempuan sebagai pembukanya, yang penting mereka bisa memiliki anak. Lain halnya jika yang dinanti itu adalah anak kedua dan seterusnya. Tak lengkap rasanya jika belum punya sepasang. Cerita akan tetap berbeda jika yang dinanti itu adalah anak keempat dan seterusnya dan anak-anak yang lahir sebelumnya memiliki jenis kelamin yang sama. Ayah bunda merasa penasaran mengapa orang lain sudah punya pengalaman dan diberi rezeki punya anak-anak dari jenis kelamin yang beragam sedangkan mereka hanya bisa punya satu jenis kelamin saja. Tanpa sadar, hal ini memacu sebuah alasan untuk punya anak lagi, dan lagi, dan lagi.

Pada beberapa orang, punya anak banyak memang rasanya hal yang tidak bisa mereka hindari lagi. Tidak bisa dipungkiri tuntutan budaya dalam lingkungan mereka mengharuskan demikian. Bagi keluarga yang menganut paham garis keturunan anak lelaki, sebuah keluarga akan merasakan sebuah tekanan yang halus untuk dapat memiliki anak laki-laki yang akan mewarisi nama keluarganya. Sebaliknya bagi mereka yang menganut paham garis keturunan anak perempuan, sebuah keluarga akan merasakan sebuah tekanan yang halus untuk dapat memiliki anak perempuan. Ada juga kasus lain dimana seorang istri atau ibu tepatnya, memperoleh kesulitan untuk dapat kesempatan mengatur kelahiran anak-anaknya. Apakah itu karena penyakit atau karena hal lain.

Artikel ringan ini tidak akan membahas sebab-sebab yang melatarbelakangi sepasang suami istri untuk mengambil keputusan jumlah anak yang mereka miliki. Tapi, diantara sekian banyak alasan, yang menarik adalah pemahaman banyak anak banyak rezeki.

Pepatah yang mengatakan banyak anak banyak rezeki rasanya sudah saya kenal sejak zaman dahulu sekali. Sebelum saya lahir, bahkan mungkin sebelum nenek saya lahir. Waktu saya duduk di bangku MTs (Madrasah Tsanawiyah) atau setingkat SLTP, ada sebuah pelajaran geografi dengan fokus kependudukan yang menjelaskan bagaimana asal mula kelahiran pepatah tersebut di Indonesia.

Awalnya, adalah karena struktur keadaan geografi di Indonesia yang luas dan beragam. Seorang ayah, harus mengolah tanah sekian hektar seorang diri dan seorang ibu harus mengerjakan sekian banyak pekerjaan seorang diri pula. Kehadiran anak akan sangat membantu meringankan pekerjaan mereka. Prinsip gotong royong memang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala.

Alhasil, pekerjaan berat dan lama akhirnya terasa ringan dan cepat selesai yang berarti mempercepat datangnya rezeki bagi keluarga tersebut. Jika anak sudah dewasa-pun, anak-anak tersebut menjadi semacam tabungan hari tua yang tetap mendatangkan rezeki bagi orang tuanya. Bayangkan jika tiap-tiap anak menyisihkan penghasilan mereka untuk orang tua tercinta, maka orang tua tidak perlu lagi berlelah-lelah bekerja membanting tulang di usia renta mereka. Anak-anak memang sungguh menjadi permata bagi ayah dan bundanya. Permata yang bernilai sebagai investasi tiada henti.

Tiap-tiap anak memang membawa rezeki tersendiri. Tapi mungkin yang tetap harus diingat oleh para orang tua adalah bahwa permata yang mereka miliki itu tidak sepenuhnya milik mereka selamanya. Seberapapun bernilainya kehadiran anak bagi kehidupan ayah dan ibunya, anak-anak adalah amanat yang dititipkan oleh Allah SWT pada orang tuanya. Meski ayah dan ibu sudah bersusah payah membesarkan, merawat dan mendidik mereka, anak-anak bukan milik kepunyaan mereka selamanya. Artinya, para orang tua tidak bisa mendaya-gunakan anak bagi kepentingan pribadi. Tidak ada hak untuk itu.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008