Sabtu, 05 Desember 2009

Mari Menambalnya Dengan Ketekunan

Sepotong syair Ebiet G. Ade dalam nyanyian cintanya "Sebening Embun" membawa ingatan saya pada sepasang suami-istri, sahabat saya. Memandang perjalanan pernikahan mereka, seperti menatap beningnya embun pagi. Damai dan indah.

Cinta mereka bukanlah cinta yang membara di awal jumpa. Tanpa proses cinta-cintaan seperti layaknya sepasang remaja, mereka cuma diikatkan oleh tujuan nikah sebagai ibadah. Semua menjadi sederhana dalam ketaatan pada Tuhannya. Dengan itulah mereka mampu menyatukan hati setelah pernikahan.

Si istri adalah seorang wanita yang cerdas dan mandiri. Karirnya sebagai seorang professional dibidangnya menanjak terus. Sejak sebelum menikah, ia memang cukup ambisius. Ia pun punya banyak teman dan memiliki society sendiri.

Sementara si suami juga seorang yang cerdas. Dengan modal itulah ia tekun mengabdikan dirinya pada dunia kampus. Cenderung pendiam, si suami lebih suka membaca dan 'menyepi' di rumah ketimbang bicara-bicara dan making friends.

Secara sifat-sifat pun, mereka amat bertolak belakang. Si istri cenderung ekspresif, sedang suaminya pasif. Si istri tidak sabaran dan maunya serba cepat, sedang suaminya bertolak belakang. Sang suami sepertinya banyak memberi jalan bagi istrinya yang 'whirlwind' ini.

Tapi lihatlah bagaimana kemudian saya menjadi terkagum-kagum pada pasangan ini. Sang istri amat menghargai suaminya. Tak pernah sekalipun ia menceritakan yang jelek tentangnya. Kebanggaannya terhadap belahan hatinya terlihat tidak hanya lewat lisan, tapi juga lewat sikap. Dukungan tak habis-habisnya ia berikan buat sang suami.

Demikian pula sang suami, yang secara pendapatan per bulan, lebih kecil dari istrinya (Dosen Kontrak). Tak sekalipun ia memperlihatkan sikap berat atas kemajuan karir sang istri. Dan sungguh, ia pun tak mampu menyembunyikan kebanggaannya pada sang istri.

Di lain pihak, mereka adalah teman diskusi yang cocok. Semua hal bisa jadi bahan diskusi, dan ramai. Mereka juga ayah dan ibu yang bagi putra kecil mereka yang baru 3,5 bulan. Mereka juga sepasang kekasih yang romantis dan penuh cinta. Dan di atas segalanya, mereka adalah sepasang hamba Allah yang senang berlomba mencapai tingkat keimanan yang lebih tinggi.

Saya yakin, mereka bukanlah tak pernah 'ribut'. Mereka toh manusia biasa yang pasti bisa khilaf. Dan memang benar, mereka mengakui hal itu. Tapi bagaimana bisa kemudian mereka menambal khilaf-khilaf itu sehingga tak jadi masalah besar?

Jawabannya sederhana: mari menambalnya dengan ketekunan. Seperti tekunnya ibu kita dulu menambal selimut-selimut kita yang robek-robek dimakan usia. Ketekunan adalah proses, butuh waktu, tidak instan. Ketekunan adalah kesabaran menjalankan proses itu sendiri untuk mendapatkan hasil yang diinginkan…

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008