Senin, 05 Oktober 2009

Ibu, Binar Matamu Adalah Syurga

Dua minggu lalu, aku pulang ke Mojoagung. Aku sudah kangen sama ibu. Lagi pula aku ingin pulang, setelah idul fitri. Saat tiba di rumah, tak ada siapa-siapa, hanya pembantu yang membuka pintu rumah. Setelah menyimpan tas di laci. Aku rebahan di sofa. Tak lama, aku tertidur lelap di kursi, dibuai gerah udara Mojoagung yang panas.

Tidurku tiba-tiba terganggu. Sebuah tangan lembut menepuk pundakku. “Subuh, ayo cepet subuh, bentar lagi matahari tiba,” teriak Ibu. Aku tahu Ibu paling sering membangunkanku untuk solat subuh. Ia sepertinya sungkan kalau harus membangunkanku tepat pada saat adzan subuh. Ia lebih memilih 20 menit menjelang matahari muncul untuk menyuruhku bangun. Ia tahu, aku sering tampak kelelahan.

“Hallo Ibu…assalamu’alaikum…” sapaku, di pagi itu. “wa’alaikum salam,” jawab Ibu. “Ayo cepet sholat, tuh udah siang,” tambah Ibu. Aku berlari menuju kamar mandi. Beres sholat, aku memilih tidur lagi di kamar. Saat aku mulai memejamkan mata, pintu kamarku terbuka pelan. Aku tahu pasti yang membuka pintu adalah Ibu. Aku tahu, tiap kali aku pulang, Ibu selalu saja membuka pintu kamarku hanya untuk memandangku. Ya, menatapku sejenak saja. Ia seperti memandangku lemas. Sesekali ia memandangku gelisah.

Entahlah, pagi itu aku merasakan ada tatapan Ibu aneh dari tatapan matanya yang lain. Tatap mata Ibu begitu menarik perhatianku. Tapi..akh mungkin Ibu hanya kangen padaku. Hingga, tatapan matanya begitu panjang. “Duh, Ibu, meski tubuhmu rapuh, engkau masih saja memperhatikanku dengan matamu yang dipenuhi rasa kasih. Meski aku sudah dewasa & sudah menikah, engkau masih saja menyimpan rasa perhatianmu untukku. Perhatian teduh yang menyejukanku. “Le, sarapan dulu….” Lamunanku dikejutkan panggilan Ibu. “ Iya bu…”

“Ibu sehat?” kataku. ”Sehat, alhamdulillah” jawab Ibu. Aku pun terus makan. Dan dihadapanku masih ada Ibu yang terus menatapku. Dan aku bisa merasakannya. “Ada apa Bu, kok ibu ngelamun?” “Ah…nggak, nggak ada apa-apa kok…,” jawab ibu.

Tepat pukul 3 sore, aku pamit sama Ibu. Ahad malam, aku harus berada lagi di Malang karena senin pagi ada Halal Bi Halal di UIN Malang. Cium tangan dan peluk aku berikan buat Ibu. Saat pergi meninggalkan rumah, Ibu masih saja menatapku. Tatapannya hening dan sunyi. Aku melambaikan tangan; sun jauh buat Ibu. Dan aku melihat Ibu masih saja menatapku nanar, aku merasakannya.

Aku baru sadar ketika di Malang bahwa isyarat mata Ibu adalah kecemasan. Kekhawatiran seorang Ibu terhadap anaknya yang mulai menempa diri. Mandiri di kota yang jauh. Entahlah, air mataku tiba-tiba jatuh. Aku merasakan sesak mulai menghimpit dada. Matahari sore masih memagut sepi. Bibirku bergetar mengenang tatap mata Ibu.

Oh Ibu…
Binar matamu adalah syurga…
Nanar cemasmu adalah kasih…
Terima kasih Ibu…

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008