Minggu, 06 September 2009

Maafkanlah

Pada hakikatnya, manusia terlahir sebagai makhluk pribadi dan sosial. Dalam menjalankan perannya sebagai makhluk sosial, manusia harus berinteraksi dengan manusia lain. Interaksi ini tentunya tidak selalu berjalan mulus seperti yang diinginkan. Karena friksi tujuan dan harapan, seringkali menimbulkan riak-riak kecil yang kadangkala berubah menjadi ombak besar sehingga bisa memperkeruh suasana hati dan sulit dijernihkan lagi seperti sediakala.

“Aku memaafkanmu”. Ini teramat mudah diucapkan di ujung bibir, namun sangat susah dikukuhkan dalam hati. Sulit sekali memaafkan orang yang telah menzhalimi kita. Bahkan kadang-kadang kita malah ingin melihat orang itu merasakan hal yang sama.

Astaghfirullah, apakah kita pernah seperti itu? Jika pernah, sekali-kali jangan pernah terulangi lagi dan jangan pula mendoakan hal yang buruk padanya. Goresan luka memang meninggalkan bekas, akan tetapi bukankah sakitnya cuma sebentar? Apa keuntungan yang kita peroleh dengan mengungkit-ungkit kesalahan yang telah berlalu?

Kita tentu pernah membaca cerita tentang guru sekolah yang menyuruh murid-muridnya membawa kentang sebanyak orang yang mereka benci. Selama seminggu, kentang-kentang itu harus dibawa ke manapun mereka pergi, bahkan juga ke toilet. Hari berganti hari kentang-kentang pun mulai membusuk. Murid-murid mulai mengeluh, selain berat, baunya juga tidak sedap. Pada hari ke tujuh, mereka lega karena penderitaannya berakhir.

Suasana hati kita bisa dianalogikan dengan cerita kentang di atas. Jika hati tidak dibersihkan dari kebencian, kita tidak akan bisa menjalani hidup dengan tentram dan selalu merasa ada beban yang menghimpit. Air susu memang tidak boleh dibalas dengan air tuba. Air tuba pun jangan sampai dibalas dengan air tuba, akan lebih baik dibalas dengan air susu. Betapa indahnya hidup ini tanpa ada perasaan dendam dan benci yang menyelinap di dalam hati.

Tak ada gading yang tak retak. Tak ada manusia yang luput dari satu kesalahan pun. Jika kita disakiti, anggaplah itu sebagai ujian kesabaran dari Allah SWT yang akan mengangkat kita ke derajat yang lebih tinggi. Terimalah permintaan maaf itu dengan keikhlasan yang bermuara pada Allah semata. Allah Maha Adil pada ciptaan-Nya dan tentu membalas semua perbuatan baik kita dengan balasan yang setimpal.

Bukankah kita menginginkan ridha-Nya sebagai balasan itu? Adakah yang lebih membahagiakan dibandingkan memperoleh ridha Allah?

Teman, apakah kita masih membawa “kentang busuk” hari ini? Lebih baik dibuang saja.

Maafkanlah...

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008