Senin, 03 Agustus 2009

Penjual Nasi Bungkus

Nasi bungkus dagangannya memang terkenal, paling tidak di sekitar Ma’had Sunan Ampel cukup dikenal. Selain karena bersih dan rasanya cukup enak, harganya juga relatif murah, sebungkus Rp 2000,-.

Mungkin agak berlebihan kalau dibilang tiap pagi banyak orang yang menunggu dia, tak terkecuali saya yang sudah berlangganan sejak 5 tahun silam. Tetapi kenyataannya, diatas pukul 07.00, orang sudah tidak kebagian lagi nasi bungkus dan gorengannya. Habiss…

Ibu itu jualan ngiter pakai sanggul dikepala, tetapi biasanya ia tidak perlu ngiter. Cukup ia meneriakkan lengkingan khasnya, “Nasiii mas/mbak, jajaaan…!” di area Ma’had, para pembeli sudah berdatangan. Ada yang berebut duluan, ada yang hanya beli gorengan, ada yang hanya beli nasi dsb. Saya, kalau pas lagi menyapu pelataran ta’mir, juga suka ikutan ngantre membeli nasi bungkusnya.

Pernah ada seorang santri putri mengomel, “Lain kali jualannya agak banyakan, bu”. Ibu itu hanya tertawa kecil. “Walah, mbak, kalau terus ditambah nggak bakalan ada habisnya. Ini juga tuh, sudah saya tambah sampai tiga kali,” sahutnya dengan logat jawa timuran. Saya yang lagi kebetulan mendengarkan percakapan itu, hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum kecut.

Itulah Bu Inah (bukan nama asli), penjual nasi keliling. Konon, ia sudah jualan nasi bungkus sejak Ma’had Sunan Ampel belum berdiri megah disini. Jadi sudah 9 tahun lebih. Yang hebat, kalau mau dibilang begitu, katanya pula, dari dulu segitu-gitu itu: nasi bungkusnya, gorengannya, bahkan suara lengkingannya tidak ada yang berubah.

Seandainya semua orang seperti Bu Inah, tahu batas, barangkali separuh persoalan di dunia ini akan bisa diselesaikan. Celakanya, justru banyak orang yang tidak tahu batas; tidak tahu batas kerja, tidak tahu batas makan, tidak tahu batas tidur, tidak tahu batas ngomong, dll. Yang sudah berkuasa, ingin terus berkuasa; yang sudah kaya, masih ingin lebih kaya lagi. Selalu merasa kurang, tidak kenal cukup.

Akibatnya, lihat saja wajah dunia sekarang; makin tua renta, penuh carut marut. Kapan manusia mau sadar akan semua itu? Entahlah, tapi mungkin kita bisa memulai itu semua dari diri kita sendiri; dengan belajar tahu batas.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008