Selasa, 11 Agustus 2009

Pemimpin Berhati Pelayan

“Sayyidul Qaum, Khodimuhum”

Hadist pendek itu menegaskan kembali adanya hubungan yang sangat erat antara kepemimpinan (leadership) dengan pelayanan (service). Agar seorang pemimpin sejati tidak beralih wujud menjadi tiran atau diktator yang suka memaksakan kehendak kepada konstituen yang mengikutinya, maka perlu di pastikan bahwa ia seyogyanyalah memiliki hati yang senang melayani.

Robert Greenleaf (Guru Besar Harvard Business School) dalam salah satu karya terbaiknya yang bertemakan “Servant Leadership” (1997) –(sebuah karya yang mendapat sambutan hangat & pujian dari tokoh-tokoh besar sekaliber; Scott Peck, Max De Pee, Peter Senge, Warren Bennis dan Danah Zohar)- antara lain beliau mengatakan; “The Great Leader is seen as servant first, and that simple fact is the key to his greatness”.

Perhatikan, bahwa Greenleaf menekankan “Servant first”, bukan “Leader first”. Seorang pemimpin itu biasanya menjadi pemimpin besar adalah dengan cara melihat dirinya pertama-tama sebagai pelayan dulu, dan bukan jadi pemimpin dulu. Ia pemimpin juga, tentu!. Namun, hatinya dipenuhi oleh hasrat untuk melayani konstituennya, melayani pengikutnya, melayani rakyat yang mengangkatnya jadi pemimpin. Artinya, jabatan kepemimpinan itu diterima sebagai konsekuensi dari keinginan yang tulus & ikhlas untuk bisa melayani konstituen dan bukan untuk kepentingan egoistiknya & selfishnya, bukan pula ambisi pribadi yang berangkat dari keinginan untuk berkuasa.

Bila kita mau flashback, sosok pelayan sebagai pemimpin dapat kita temukan dlm berbagai ajaran pendiri agama-agama besar, terutama agama Islam, namun mungkin juga Kristen, Hindu, Konfusianisme, Buddhisme dll.

Tak seorangpun diantara “Guru” dari umat manusia itu yang tak mendemonstrasi-kan jiwa dan semangat tuk melayani para konstituen yang mengikutinya dengan tulus hati dan setia, nyaris tanpa pamrih material. Mereka tidak mengejar jabatan kepemimpinan dulu, akan tetapi mereka melayani dulu untuk kemudian diterima, diakui dan diangkat sebagai pemimpin (ini bukan tujuan, tapi konsekuensi).

Dewasa ini, kita melihat bagaimana ajaran-ajaran agama mulai (baca; kembali) ditemukan relevansinya untuk dapat di- aplikasikan dlm konteks wacana-wacana kepemimpinan millennium abad ke-tiga ini. Berbagai ajaran sesat yang membuang ajaran agama ke pinggir arena kehidupan terbukti telah keok di tengah perjalanan (komunisme adalah contoh nyata). Ada kehausan spiritual yang nyata dalam diri masyarakat modern saat ini, dan setelah berbagai eksperimentasi telah dilakukan dalam memposisikan manusia sebagai leader -(meminjam uraian Yasraf Amir Piliang)- sebagai ideological man-nya orde baru, fragmentented-nya orde reformasi dan selfishman-nya Hobbes, man of commodity-nya Karl Marx, maupun man of nature-nya Rousseu atau digital man dan man of speed-nya generasi elektronik, yg ternyata justru menciptakan inhuman realities dan inhuman system.

Kita tahu bahwa untuk kurun waktu yang lama, pemimpin acapkali dipahami sebagai suatu jabatan/kedudukan elitis yg menuntut dilayani dan bukan melayani. Dengan demikian, mereka yang menjadi pemimpin itu dianggap –(dan mereka yg- beranggapan bahwa dirinya)- berhak untuk mendapatkan perlakuan-perlakuan yg khusus dan istimewa. Bahkan didalam tradisi Barat maupun Timur, pemimpin acapkali dianggap keturunan dewa yang tidak boleh diganggu gugat (baca; leader can do no wrong).

Pemimpin ditempatkan sebagai manusia dari “kasta tertinggi” sementara konstituennya adalah “kasta terendah” yang harus menerima dan diperlakukan sebagai alat, organ ataupun obyek dari pemimpin. Pandangan ini ternyata “berhasil” dilestarikan oleh para raja-raja dan penguasa yang lalim dan sewenang-wenang.

Kesadaran yang tinggi terhadap kesetaraan manusia sebagai sesama ciptaan Allah SWT, menempatkan manusia sebagai makhluk yg harus mempertanggung-jawabkan setiap kata serta perbuatannya kepada Sang Pemimpin Alam Semesta ini.

Dan kesadaran yang demikian itu hanya muncul dari hati nurani (conscience) yang bersih, hati nurani yang menuntun akal budi, yang pada gilirannya menuntun perilaku manusia agar sungguh-sungguh manusiawi dalam men jalankan tugas ke-khalifahan-nya di bumi ini.

Semoga, pemimpin RI kedepan memang betul-betul mempunyai watak seperti ini.
Amin…

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008