Selasa, 29 Juni 2010

Melatih Anak Berkata Sopan

Adi dan Ilham sedang bermain bersama. Tiba-tiba seorang anak lain ikut nimbrung dan memicu pertengkaran. Lalu sekonyong-konyong kata-kata yang berkonotasi penghuni kebun binatang dan mengejek berlompatan keluar dari mulut mereka. Bu Irma segera tergopoh-gopoh menengahi pertengkaran anak asuhnya. Hal seperti ini bukan pertama kali terjadi di sekolah bu Irma. Taman bermain yang mencantumkan label Islam di depan namanya itu ternyata tidak menjamin anak didiknya akan selalu bertingkah-laku dan berkata sopan.

Demikian juga anak-anak kita. Terkadang para orang tua terkaget-kaget mendengar kata-kata baru yang tiba-tiba diucapkan anaknya. Para orang tua akan berpikir keras kira-kira dari mana anak mereka belajar kata-kata tersebut.

Kenyataannya, kita tidak bisa menciptakan lingkungan yang sempurna. Lingkungan yang steril dari kata-kata yang buruk, kasar, atau tidak sopan. Coba perhatikan, anak-anak bisa saja mendapatkan kata-kata barunya dari mana saja. Dari obrolan orang dewasa, dari anak-anak yang lebih tua, dari televisi dan dari teman-temannya.

Sebagai orang tua kita mengharapkan agar anak-anak belajar bersopan santun dalam berbicara. Secara umum gaya bicara anak diharapkan mengikuti gaya bicara yang baik dan sopan, walau bukan bahasa baku. Namun adakalanya juga anak berbicara dengan kata-kata yang kurang pas dengan situasi. Misalnya menggunakan kata elu dan gue kepada orang yang lebih tua. Jika hal ini terjadi di keluarga Betawi mungkin masih bisa diterima, tapi untuk keluarga lain, bisa dianggap kurang sopan.

Beberapa kata lain juga memiliki arti yang berbeda di berbagai tempat. Hal ini karena kekayaan bahasa daerah yang ada di Indonesia. Misalnya kata bujur dalam bahasa Banjar artinya benar, sedangkan bujur dalam bahasa Sunda artinya, (maaf) bokong.

Anak usia sekolah dasar biasanya juga memiliki perbendaharaan kata-kata yang lebih beragam. Di kelompok bermainnya terkadang juga berlaku kata-kata tertentu yang bisa digunakan sebagai bahasa pergaulan di kelompoknya. Ada yang memang tergolong kata-kata kotor atau tidak sopan. Ada juga yang sekedar bahasa slank, atau bahasa gaul. Bahasa gaul ini kadang-kadang mereka ciptakan sendiri. Misalnya blo'on menjadi o'on, atau bolot menjadi beot, dan lain-lain.

Bahasa juga dipelajari dari keteladanan. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang tidak memberikan teladan berbicara yang baik dan benar, akan dengan entengnya mengucapkan kata-kata apa pun yang didengarnya. Apalagi jika lingkungan itu justru menunjukkan reaksi positif jika anak mengucapkan kata-kata kotor. Misalnya, menyoraki dan menertawakan anak yang berkata-kata kotor. Anak akan merasa senang dan mendapat dukungan jika mengucapkan kata-kata kotor. Sehingga perlu sekali lingkungan yang bersih dari polusi kata-kata.

Kalaupun misalnya ada pertengkaran, usahakan tidak terjadi di hadapan anak atau didengar anak. Repotnya pertengkaran ataupun contoh kata-kata yang tidak baik itu dengan mudahnya ditiru anak dari televisi. Kata-kata seperti brengsek, keparat, bajingan dan sejenisnya dengan entengnya berhamburan dari tayangan-tayangan televisi. Bahkan dari program yang maksudnya untuk konsumsi anak-anak, misalnya film kartun atau film anak-anak lainnya. Seleksi tayangan televisi yang ketat perlu diberlakukan jika memang anak mengadopsi perbendaharaan kata-kata kotor dari televisi. Juga perlu dicermati lirik-lirik lagu yang biasa dinyanyikan anak-anak atau orang dewasa atau bahkan buku-buku bacaan. Terkadang ada kata-kata yang sebenarnya kurang pantas jika diucapkan anak.

Anak-anak berbicara kotor di sekolah biasanya karena bawaan dari lingkungan keluarga. Sayangnya si anak juga menularkan kebiasaannya kepada teman-temannya di sekolah. Sehingga bagi para orang tua, sebaiknya juga mencermati gaya bicara anak yang didapat dari sekolah.

Anak baru boleh dibilang bermasalah jika ia terbiasa menggunakan kata-kata tidak sopan untuk menghina, mengejek dan untuk tujuan negatif lainnya. Atau jika anak memang terbiasa melampiaskan emosinya dengan menggunakan kata-kata kotor. Karena anak yang melampiaskan secara eksplosif mungkin memendam kelainan psikologis. Misalnya karena akibat kekerasan dalam keluarga.

Jika anak memang secara sadar dan sengaja menggunakan kata-kata yang tidak sopan, anak boleh dihukum dengan hukuman yang mendidik. Misalnya dengan puasa bicara kecuali bicara yang baik, atau denda.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008