Selasa, 27 April 2010

Thibbun Nabawy Bag. II

Sejarah mencatat ada dua aliran kedokteran, yakni kedokteran Iskandariya Mesir dan kedokteran Jundhisapur Persia. Namun, dari dua aliran tersebut tidak terjadi interaksi dan itu berlangsung hingga Dinasti Abbasiyah. Dimasa itu pula mulai dilakukan penterjemahan buku-buku kedokteran. Salah satunya adalah Kitab Al-Kunasy, yang ditulis dalam bahasa Yunani oleh seorang Dokter Iskandariya; Ahran Al-Qis ke dalam bahasa arab. Hal itu dilakukan di pertengahan masa pemerintahan Marwan Bin Al-Hakam.

Tidak hanya dalam tahap penterjemahan saja, para dokter asing dari aliran Jundishapur pun banyak yang diangkat sebagai tenaga medis Istana kala itu. Khalifah Abu Ja'far Manshur pernah meminta agar Jurjis Bin Baktikhsu (150 H), tokoh kedokteran madzab tersebut untuk datang. Akhirnya, diutuslah Baktikhsu untuk mengabdi sebagai dokter istana. Hingga keturunan-keturunan Baktikhsu seperti Jibrail Bin Baktikhsu dipercaya sebagai dokter istana di masa pemerintahannya Harun Ar-Rasyid hingga Amin dan Ma'mun berkuasa.

Di masa Abbasiyah, para fuqaha juga melakukan pembukuan mengenai disiplin ilmu keislaman. Pesan-pesan Rasulullah saw yang berhubungan dengan kedokteran pun tak luput tuk dibukukan demi generasi muslim mendatang. Diketahui, kitab pertama mengenai masalah ini adalah At-Thibb An-Nabawy yang ditulis oleh Imam Ali Ridha (203 H), yang dihadiahkan untuk Khalifah Al-Ma'mun. Namun, kabar mengenai buku-buku kedokteran Yunani juga menyita perhatian para dokter kala itu, khususnya yang ditulis oleh Jalinus (seorang dokter & filsuf yang menjadi rujukan utama aliran Jundishapur).

Sejak saat itu, mulailah ada interaksi antara kedokteran arab dengan aliran ini. Akan tetapi, kedokteran arab tidak mencukupkan diri dengan karya-karya Jalinus. Cendikiawan Muslim mulai menulis beberapa masalah kedokteran yang tidak ada dalam karya Jalinus. Tidak hanya melengkapi, akan tetapi mengkritisi karya-karya Jalinus yang dianggap "keliru" dengan memberikan solusi atau bagaimana "benarnya", seperti yang dilakukan Ar-Razy dengan menulis kitab yang berjudul As-Syukuk 'Ala Jalinus (Keraguan Atas Jalinus), disaat mazdab itu menjadi rujukan banyak orang.

Namun, tidak dapat dipungkiri, Jalinus juga memberikan kontribusi kepada kedokteran arab pada masa itu. Cendekiawan Muslim pada masa itu tidak hanya merujuk kepada aliran Jundishapur saja, akan tetapi juga belajar kepada kedokteran Yunani, India hingga China. Sehingga, cendekiawan muslim mempunyai wawasan yang luas tentang ilmu kedokteran. Sebagai contoh adalah Ibnu Handu (420 H), menulis sebuah Kitab Miftah At-Thibb yang menjelaskan tentang kedokteran itu terbagi menjadi dua; ilmi dan amali. Ilmi adalah pengetahuan mengenai hakikat apa saja yang ada. Sedangkan amali adalah pengetahuan mengenai hal yang baik terhadap sesuatu itu. Hal yang sama juga dilakukan (disempurnakan) oleh Ibnu Sina/Avicena (428 H) dalam Kitab monumentalnya Al-Qanun Fii At-Thibb.

At-Thibb An-Nabawy dalam Al-Qanun
Walau bercampur antara filsafat dan kedokteran, Al-Qanun tetap menjadi pijakan banyak dokter, sehingga sampai ditulis syarah (penjelasan) maupun mukhtashar (ringkasan)-nya, hingga terbitlah Jauhar Al-Maknun Fii Al-Bahr Al-Qanun, juga mukhtashar Al-Farisi sebagai ringkasannya.

Walaupun banyak mengambil teori kedokteran dua aliran diatas, kedokteran arab lokal tidak pula dihilangkan dari Al-Qanun. Pengarang kitab tersebut (Ibnu Sina) juga membahas panjang lebar tentang Al-Hijamah (bekam). Beliau melarang berbekam di daerah tertentu seperti tengkuk karena bisa menghilangkan hafalan Al-Qur'an maupun Hadist. Beliau juga menerangkan tatacara & waktu-waktu yang baik untuk berbekam. Perlu diketahui juga, Ibnu Sina hafal Al-Qur'an ketika umurnya 10 tahun.

Disamping itu, Ibnu Sina juga berbicara di Al-Qanun-nya tentang obat-obatan (herbal) arab seperti za'faran, burdi, habbatussauda' dsb. Bahkan obat-obatan yang dilarang dalam Thibbun Nabawy juga dikupas oleh beliau, salah satunya mengenai larangan berobat dengan menggunakan katak. Mengenai Jirahah (operasi), malah banyak mendapatkan porsi di dalam kitabnya. Tak heran, Al-Qanun Fii At-Thibb menjadi rujukan ilmu kedokeran modern hingga beratus tahun kemudian di Eropa.

At-Thibb An-Nabawy dimasa penyerangan Tartar
Pada saat kejayaan kedokteran Islam, ketidakstabilan politik terjadi karena serangan bangsa Tartar & perang Salib. Dimasa ini, kedokteran Islam mengalami kemerosotan disebabkan karena langkanya rempah-rempahan bahan baku obat yang diimpor dari India, China, atau Persia. Biaya berobat juga jadi amat mahal karena hal tersebut sehingga hanya orang-orang kaya saja yang mampu berobat.

Akan tetapi, para dokter Islam tidak kekurangan akal untuk membuat resep yang dapat "dijangkau" oleh masyarakat sehingga Ibrahim Al-Arzaq (seorang dokter muslim) pada masa itu menulis Kitab Thibbun Nabawy yang berjudul Tashil Al-Manafi'; yang maknanya memudahkan hal-hal yang bermanfaat atau menggunakan herbal-herbal lokal agar biaya pengobatan tidak lagi mahal.

Oleh karena itu, Thibbun Nabawy mulai banyak digunakan lagi. Makan penjelasan atau penjabaran Thibbun Nabawy diperlukan. Tampaknya, hal itulah yang membedakan antara karya-karya Thibbun Nabawy sebelum dan sesudah 'masa kelam'.

At-Thibb An-Nabawy masa sekarang
Perkembangan Thibbun Nabawy masa sekarang mulai dilirik lagi oleh kaum muslimin maupun non muslim karena Thibbun Nabawy mengajak kepada "Back to Nature" dalam ilmu kedokteran yang terbukti manjur dan aman. Abu Nu'aim menyebutkan dalam bukunya ada sekitar 80 macam bahan herbal, Ibnu Qayyim menyebutkan sekitar 100, sedangkan Adz-Dzahabi menyebut 220 macam. Bahkan rempah-rempah yang jauh dari jazirah arab juga disebut-sebut, sebagaimana yang ditulis As-Suyuthi mengenai kayu Sandhal (kayu gaharu). Kayu gaharu yang terbaik ternyata dihasilkan di Makassar-Indonesia.

Demikianlah, para ulama telah melakukan pengembangan Thibbun Nabawy hingga diharapkan generasi setelah mereka terus melakukan penelitian guna kemajuan ilmu kedokteran yang nilai-nilainya berasal dari Hadist Rasulullah saw.


-dinukil dari majalah Hidayatullah Edsus-

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008