Kamis, 07 Januari 2010

Anak

Seorang teman yang baru saja mempunyai anak berkeluh-kesah: “ Punya anak itu ternyata repot juga, ya. Tapi, belum-belum (baca: lama) dikarunia anak itu juga susah juga”. Saya hanya senyum melihat teman saya itu.

Memang, kehidupan sontak berubah dengan lahirnya seorang anak. Bahwa sukacita itu ada, jelas tidak terbantahkan. Hidup rasanya lebih berwarna. Tetapi bahwa kerepotan demi kerepotan datang, juga tidak dapat dipungkiri.

Bulan-bulan pertama jam tidur berubah; siang jadi petang, petang jadi pagi, pagi jadi malam. Bekerja, membaca & menulis, bepergian dan lain-lain tak lagi bebas. Belum lagi tangisnya atau pipisnya, atau pup-nya. Menggendongnya, terlebih memandikannya harus ekstra hati-hati. Pendek kata, segenap energi perlu dikerahkan untuk menanganinya.

Bulan-bulan selanjutnya, ketika semua itu sudah mulai terbiasa, kerepotan tak lantas berkurang. Apalagi kalau anak itu sudah bias gulang-guling (tengkurap). Lengah sedikit, ia bias jatuh menggelinding ke bawah ranjang. Atau tahu-tahu ia memasukkan sesuatu ke mulutnya. Malah lebih repot. Yang ”menyiksa” kalau ia sakit; gelisah dan menangis sepanjang malam. Ada perasaan tidak tega, tetapi mau berbuat apa juga tidak berdaya. Duh, rasanya lebih baik kalau saya saja yang sakit.

Dalam kerepotan mengurus anak, saya jadi lebih memahami “ketangguhan” dan “keteguhan” wanita. Bahkan ditengah rasa kantuk dan lelah, ia bias tetap sabar dan telaten. Terus terang, saya tidak sanggup. Ditambah perjuangannya saat melahirkan, saya jadi semakin yakin tentang sabda Rasul: Syurga ada dibawah telapak kaki ibu.

Melihat perjuangan & pengorbanan istri saya, saya jadi teringat dengan orangtua saya terutama ibu. Tiba-tiba saya merasa menjadi orang yang paling berutang. Terutama ketika ingat kebandelan saya, pemberontakan saya, perilaku-perilaku tidak menyenangkan saya kepada orangtua.

Mengingat itu, rasanya saat ini juga saya ingin memeluk dan mencium kaki ibu seraya berkata; “Ibu…, inilah anakmu!”.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008