Minggu, 19 Juli 2009

Berharga

Saya mengenalnya tidak sengaja. Sekali waktu, saya melihat ia sedang tidur-tiduran di depan pintu wisma saya. Kebetulan saya lagi punya makanan sisa, jadi saya kasih dia. Besoknya eh, ia datang lagi. Saya kasih lagi ia makanan. Besoknya lagi begitu juga. Sejak itu, hampir tiap hari ia datang. Kadang-kadang kalaupun saya lagi kuliah, ia sudah menunggu di depan pintu kamar.

Awalnya saya senang juga. Ibarat mendapat teman dikala sepi atau penyegar di waktu pikiran lagi jenuh dan sumpek alias jutek. Maklum di wisma sebesar itu, hanya ditempati oleh beberapa orang saja. Sekitar satu bulan lebih saya menjalin pertemanan dengan dia. Tak ada masalah. Kami rukun-rukun saja. Kalau saya lagi ada kerjaan, saya biarkan dia. Dan ia pun tak tersinggung. Buktinya, besok-besoknya ia terus datang lagi.

Tetapi lama-lama saya mulai dibuat jengkel. Rasanya ia mulai keterlaluan. Di kasih “ati’ malah minta “rempelo”. Coba saja bayangkan, ia sudah berani nyelonong masuk kamar saya tanpa izin. Padahal kakinya kadang-kadang kotornya minta ampun. Bukan itu saja, ia sudah berani mencuri-curi naik ke ranjang saya. Dan kalau saya lagi makan, enak saja ia naik ke atas meja sambil mencicipi hidangan saya.

Menjengkelkan sekali. Kerap saya habis kesabaran. Entah sudah berapa kali saya pukul ia dengan gulungan kertas atau terpaksa saya usir dari kamar saya. Ia tidak kapok-kapok juga. Bahkan sepertinya ia suka membalas mengejek saya, dengan cara menggoyang-goyangkan tubuhnya dan berjalan berlenggang.

Sekali waktu saya benar-benar tidak bisa menahan diri lagi. Saya siram ia dengan air. Ia lari tunggang langgang. Syukuriiin…

Sejak saat itu ia tidak pernah datang lagi. Legalah hati ini. Satu hari berlalu tanpa kejengkelan. Tiga hari juga begitu. Lima hari mulai saya merasa ada sesuatu yang kurang. Tujuh hari, saya kok jadi merindukan dia. Aneh kedengarannya. Tapi sungguh, rasanya ada sesuatu yang hilang dalam hari-hari saya. Tak ada lagi yang menyambut kalau saya pulang kuliah. Tak ada lagi yang bisa saya isengin. Tak ada lagi sumber ide kalau pikiran lagi buntu. Sepi sekali rasanya.

Penyesalan mulai menyelinap ke dalam hati saya. Kenapa kemarin-kemarin itu saya bersikap sangat kasar kepadanya, bahkan mengguyur dengan air. Kenapa saya hanya memikirkan yang jelek dan menjengkelkan saja dari dia. Kenapa saya tidak melihat hal-hal yang baik dan bermanfaat dari kehadirannya?

Betul juga, sesuatu itu baru terasa berharga kalau sudah tidak ada. Tetapi kalau sudah tidak ada ya, terlambat. Seharusnya saya berusaha menghargai apa yang sudah ada, dan bersyukur karenanya. Walaupun ia hanya seekor kucing.

0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008